Liputan6.com, Bandung: SMAN 3 Bandung, Jawa Barat, boleh berbangga hati. Keluarga Paduan Angklung (KPA) sekolah tersebut, berhasil meraih prestasi gemilang di pentas internasional. Mereka membawa pulang gelar di Festival Musik Tradisional Pemuda di Wina Austria, awal Juli silam. "Alhamdulillah, kita baru mendapat special award," ujar Anggia Dewi, keluarga KPA SMAN 3 Bandung ketika menjadi tamu dialog Liputan 6 Pagi, Sabtu (31/7).
Hasil di Wina adalah satu di antara sekian prestasi yang diraih sekolah tersebut. Tak berlebihan, memang. Sebab, anggota KPA SMAN 3 Bandung memang kerap berlatih, sekaligus melestarikan alat musik tradisional. Itu juga yang membuat lagu Laskar Pelangi (Nidji) dan You'll be in My Heart (Phil Collins) menjadi enak didengar saat dibawakan dengan angklung. Harmonisasi musik yang dihasilkan benar-benar indah dan enak didengar di telinga.
Lebih jauh Anggia Dewi menceritakan, penampilan KPA SMAN 3 Bandung di Wina mengundang decak kagum. Sebab, dengan alat musik tradisional, mereka bisa membawakan lagu-lagu klasik. Dari Mozart hingga Beethoven. Padahal, negara lain membawakan lagu ini dengan orchestra. "Alat musik yang kita mainkan dianggap tidak lazim," kata Anggia.
Kepala SMAN 3 Bandung Encang Iskandar mengungkapkan, angklung merupakan satu di antara sekian banyak ekstrakurikuler di sekolahan. Jika dilihat dari dukungan dana, tak terlalu banyak sebenarnya yang diberikan untuk KPA. "Hanya dana stimulan, sekitar 10 juta," ucap Encang.
Jika ada festival atau lomba, anggota KPA kerap lama meninggalkan sekolah. Bisa sampai 30 hari belajar. Untuk itu, sekolah memberi kompensasi. Ini tidak terlalu mengkhawatirkan karena anggota KPA banyak yang berprestasi dalam bidang akademis. "Mereka anak-anak pintar. Dalam dua minggu sudah bisa mengejar ketinggalan," lanjut Encang.
Lalu apa yang membuat siswa tertarik ikut KPA? "Keren. Sebab, KPA ternyata tak membawakan lagu tradisional, tapi lagu pop," ujar Gita, anggota KPA. Pilihan Gita ternyata tidak keliru. Belakangan, bersama KPA, dia kerap meraih penghargaan, termasuk mendapat kesempatan ke luar negeri.
Sayangnya, kata Anggia, bantuan yang diberikan pemerintah belum maksimal. Untuk itu, KPA harus mencari dana ke sponsor agar bisa mengikuti serangkaian festival. "Sedikitnya kita memerlukan biaya 800 juta hingga satu miliar," ujar Anggia.
Padahal, tidak ada salahnya bila pemerintah mau lebih peduli dengan kebudayaan tradisional, termasuk angklung. Daripada menghamburkan uang hanya untuk studi banding ke luar negeri, tanpa ada hasil yang jelas, mending pemerintah mau membantu kebudayaan tradisional yang kian lama semakin jarang peminatnya.(ULF)
Hasil di Wina adalah satu di antara sekian prestasi yang diraih sekolah tersebut. Tak berlebihan, memang. Sebab, anggota KPA SMAN 3 Bandung memang kerap berlatih, sekaligus melestarikan alat musik tradisional. Itu juga yang membuat lagu Laskar Pelangi (Nidji) dan You'll be in My Heart (Phil Collins) menjadi enak didengar saat dibawakan dengan angklung. Harmonisasi musik yang dihasilkan benar-benar indah dan enak didengar di telinga.
Lebih jauh Anggia Dewi menceritakan, penampilan KPA SMAN 3 Bandung di Wina mengundang decak kagum. Sebab, dengan alat musik tradisional, mereka bisa membawakan lagu-lagu klasik. Dari Mozart hingga Beethoven. Padahal, negara lain membawakan lagu ini dengan orchestra. "Alat musik yang kita mainkan dianggap tidak lazim," kata Anggia.
Kepala SMAN 3 Bandung Encang Iskandar mengungkapkan, angklung merupakan satu di antara sekian banyak ekstrakurikuler di sekolahan. Jika dilihat dari dukungan dana, tak terlalu banyak sebenarnya yang diberikan untuk KPA. "Hanya dana stimulan, sekitar 10 juta," ucap Encang.
Jika ada festival atau lomba, anggota KPA kerap lama meninggalkan sekolah. Bisa sampai 30 hari belajar. Untuk itu, sekolah memberi kompensasi. Ini tidak terlalu mengkhawatirkan karena anggota KPA banyak yang berprestasi dalam bidang akademis. "Mereka anak-anak pintar. Dalam dua minggu sudah bisa mengejar ketinggalan," lanjut Encang.
Lalu apa yang membuat siswa tertarik ikut KPA? "Keren. Sebab, KPA ternyata tak membawakan lagu tradisional, tapi lagu pop," ujar Gita, anggota KPA. Pilihan Gita ternyata tidak keliru. Belakangan, bersama KPA, dia kerap meraih penghargaan, termasuk mendapat kesempatan ke luar negeri.
Sayangnya, kata Anggia, bantuan yang diberikan pemerintah belum maksimal. Untuk itu, KPA harus mencari dana ke sponsor agar bisa mengikuti serangkaian festival. "Sedikitnya kita memerlukan biaya 800 juta hingga satu miliar," ujar Anggia.
Padahal, tidak ada salahnya bila pemerintah mau lebih peduli dengan kebudayaan tradisional, termasuk angklung. Daripada menghamburkan uang hanya untuk studi banding ke luar negeri, tanpa ada hasil yang jelas, mending pemerintah mau membantu kebudayaan tradisional yang kian lama semakin jarang peminatnya.(ULF)