Liputan6.com, Jakarta - Benjang, kata tersebut mungkin terdengar asing. Sebagian yang mendengar mungkin akan bertanya-tanya apa itu benjang? Mungkin, sedikit orang yang tahu tentang benjang, atau mungkin tak ada yang tahu kata apa itu.
Benjang merupakan kesenian tradisional Indonesia yang memadukan seni dan beladiri. Benjang tumbuh dan berkembang di Karesidenan Ujungberung, kawasan Bandung Timur, yang kini sudah dimekarkan menjadi sejumlah kecamatan.
Ada yang menyebut, benjang berkembang sejak akhir abad ke-19. "Benjang itu konon katanya ada sejak zaman penjajahan," kata Agus Nurrohman (54), Sekretaris Umum Perkumpulan Benjang Jawa Barat kepada Liputan6.com, Sabtu 11 Maret 2017.
Advertisement
Benjang tak begitu saja terbentuk. Ada cerita panjang yang bergulir mengiringi beladiri yang lahir dari permainan ini. Mulanya, sekelompok pemuda yang punya hobi beladiri membentuk perkumpulan berkedok seni melalui jalur agama.
Kedok ini dibuat lantaran rezim kolonial tak menghendaki, pemuda inlander bebas berlatih beladiri. Rezim khawatir, inlander bisa menghimpun kekuatan dan memicu pemberontakan di Karesidenan Ujungberung.
Saat larangan diberlakukan, surau dan pesantren mulai menjamur di Priangan. Rudat, tarian yang tumbuh bersamaan dengan penyebaran Islam di Nusantara, menjadi wahana pemuda untuk memadukan kesenian dan beladiri.
Perpaduan seni dan beladiri ini tumbuh dari pesantren dan menjadi sebuah permainan. Seperti dodogongan (permainan saling mendorong menggunakan kayu penumbuk padi), seredan (permainan saling mendesak tanpa alat hingga salah satu pemain keluar dari lapangan), dan mumundingan (gerakan saling mendorong menggunakan kepala).
Permainan tersebut terus berkembang dan banyak dimainkan anak laki-laki. Dari permainan ini, benjang lahir. "Artinya, benjang itu dulunya bukan beladiri, tapi permainan," kata Iman Firmasyah (38), seorang pelatih benjang di Kampung Ciborelang, Cileunyi --dahulu kawasan Ciborelang masuk dalam Karesidenan Ujungberung.
Dalam perjalanannya, benjang mengalami banyak modifikasi. Benjang tak semata permainan dan beladiri. Ada unsur hiburan yang kemudian hadir dalam seni tradisional ini.
Pegiat benjang kemudian menambahkan musik pada pertunjukan benjang. Musik ini disebut Waditra, dan memainkan terebang (rebana), kendang (gendang), bedug, tarompet (terompet) dan kecrek. Musik ini menambah semarak benjang. Belakangan, ada bangbarongan (topeng benjang) yang juga menjadi penghibur.
Umumnya, masyarakat di Kecamatan Ujungberung mengenal iringan musik benjang ini sebagai benjang helaran, sebagai pembeda dari benjang gulat. Benjang helaran ini menggabungkan iringan musik waditra dan bangbarongan dan dihelat pagi hingga sore hari.
"Musik ini untuk ngabewarakeun (memberi tahu) ada benjang, dan menyemangati tukang benjang pas main malam hari," ujar Adin Sutardi (60), tukang benjang sekaligus pegiat benjang helaran.
Benjang terus melenggang menjadi permainan, kesenian, sekaligus beladiri, yang digemari masyarakat di Karesidenan Ujungberung. Apalagi, ada nilai tradisi yang diusung benjang.
Tatang Irwansyah, pegiat benjang di Ciborelang, ungkap cerita, mereka biasanya menggelar ritual terlebih dahulu sebelum memulai helaran (pagelaran). "Ritual untuk memohon keselamatan kepada Allah SWT," ucap Tatang (50).
Kepopuleran ini harus terhenti sejenak. Benjang yang saat lahir dilarang pemerintah kolonial, harus kembali dilarang saat zaman Orde Baru. Musababnya, benjang dianggap jadi sumber tawuran di Kecamatan Ujungberung pada 1970-an.
Apalagi, tawuran sampai melibatkan warga dan anggota TNI. "Sampai rame perang antara Ujungberung dan Seni Pora (anggota TNI)," ucap Abdul Gani, Ketua Paguyuban Benjang Jawa Barat.
Larangan ini membuat benjang gulat vakum tampil di depan publik Ujungberung. Hampir dua dekade lebih, benjang gulat absen dipertunjukkan di Alun-Alun Ujungberung. Hingga akhirnya, Orde Baru tumbang dan menyisakan harapan buat pegiat benjang.
Awal 2000, benjang gulat kembali bisa disaksikan di depan umum, tepatnya di Alun-Alun Ujungberung. Hanya saja, ada jejak larangan yang menyisa di benjang. Sebab kini, warga Ujungberung lebih mengenal benjang sebagai seni daripada beladiri.
"Lebih ke seninya, paguronnya sedikit," ucap Agus menyesali pelarangan yang sempat dialami benjang.
Â