Liputan6.com, Jakarta Aksi protes menolak pembangunan pabrik semen di Rembang kembali datang dari petani Kendeng. Sejak Senin 13 Maret 2017, untuk kedua kalinya, petani Kendeng melakukan aksi menyemen kaki di depan Istana Merdeka, Jakarta.
Hampir satu tahun lalu, pada April 2016, 9 srikandi Kendeng memulai aksi menyemen kaki. Tuntutan mereka sederhana, hentikan pembangunan pabrik semen di kawasan pegunungan Kendeng. Setahun berselang, tuntutan mereka tetap sama.
Eksploitasi dan kerusakan alam di pegunungan Kendeng menjadi momok jika pabrik semen yang hampir rampung itu jadi beroperasi. Pertambangan memang menjadi salah satu sektor penyumbang konflik agraria di Indonesia.
Advertisement
Baca Juga
Data tahunan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terjadi peningkatan hingga dua kali lipat jumlah konflik agraria selama 2016, dibandingkan tahun sebelumnya. Sesuai data yang dikeluarkan KPA, selama satu tahun lalu saja, terjadi lebih dari 400 konflik agraria di seluruh Indonesia.
Siapa yang berkonflik? Dominasi perseteruan warga melawan perusahaan swasta terjadi tahun lalu. Bukan hanya itu, pemerintah menjadi lawan terbanyak kedua, dengan ambisi infrastrukturnya, berebut lahan dengan warga.
Selain itu, laporan tahunan KPA menyebutkan, sektor perkebunan menjadi penyumbang terbanyak konflik agraria selama 2016. Arogansi ekspansi perusahaan kelapa sawit memonopoli lahan yang ada.
Wilayah terbanyak terjadi konflik tanah ialah di Provinsi Riau, sebagai provinsi dengan perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia. Sedangkan dua provinsi di pulau Jawa yang menjadi wilayah penyumbang konflik agraria terbanyak kedua dan ketiga, didominasi isu penguasaan tanah oleh PTPN, monopoli hutan Jawa oleh pihak Perhutani dan perluasan proyek pembangunan infrastruktur pemerintah.
Sektor properti berada di urutan kedua setelah perkebunan, sebagai sektor dengan konflik agraria terbanyak tahun 2016. Kasus terbaru yang berkaitan dengan sektor properti adalah pembangunan real estate oleh PT Pertiwi Lestari di Teluk Jambe, Karawang.