Liputan6.com, Jakarta - Kasus e-KTP mengungkap banyak nama tokoh nasional yang disebut menerima aliran dana korupsi megaproyek itu. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun ingin kasus ini segera tuntas. Oleh karena itu, KPK berharap sidang kasus e-KTP dipercepat.
KPK berharap sidang agenda pemanggilan saksi-saksi dijadwalkan dua kali seminggu.
Baca Juga
"Rencananya semoga minggu depan kita sudah bisa sidang dua kali seminggu, agar proses persidangan bisa berjalan lebih cepat," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa 21 Maret 2017.
Advertisement
Menurut dia, permintaan tersebut diajukan KPK lantaran saksi yang akan dihadirkan dalam kasus e-KTP ini 133 orang. Ini, Febri melanjutkan, berguna untuk pendalaman penyidikan dalam proses penganggaran dalam proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut.
"Tentu kami masih mendalami aspek penganggaran. Di persidangan kemarin, sebelumnya kita sudah mulai membuka sedikit terkait proses penganggaran, termasuk dengan segala indikasi penyimpangan di sana," kata Febri.
Menurut dia, penganggaran e-KTP harus benar-benar didalami karena sejumlah pihak bermain dalam proses tersebut. Indikasi suap yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun ini terjadi pada saat yang sama.
"Kalau kita baca dakwaan, di tahap penganggaran inilah aliran dana mengalir ke sejumlah pihak. Itu termasuk yang kita dalami. Jadi semua unsur akan kita hadirkan di persidangan Kamis depan," ucap Febri.
Sebelumnya, dua mantan anak buah Gamawan Fawzi, yakni Irman dan Sugiharto didakwa melakukan korupsi secara bersama-sama dalam proyek e-KTP. Irman dan Sugiharto didakwa merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.
Irman merupakan mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Sementara itu, Sugiharto adalah mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Dukcapil Kemendagri.
Atas perbuatannya dalam kasus e-KTP itu, Irman dan Sugiharto didakwa melangar Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.