Liputan6.com, Jakarta - Sebuah ranjang lengkap dengan aksesorisnya teronggok dalam kamar. Dalam ruangan berukuran 2X3 meter itu, terdapat kasur, sprei, juga kelambu berkelir putih menyelimuti tempat tidur besi biru.
Di bawah tempat tidur itu, disebut ada makam Datuk Banjir, orang sakti zaman Belanda. Datuk Banjir juga diakui sebagai sosok penyemat nama Lubang Buaya untuk kawasan di Jakarta Timur, tempat makam ini berada.
Memasuki ruangan makam Datuk Banjir, nuansa mistis sangat terasa. Hawa dingin langsung berembus meski tidak ada AC dalam ruangan tersebut.
Advertisement
Kuburan Datuk Banjir itu terletak di kompleks makam keramat Lubang Buaya, Jakarta Timur. Di kompleks makam ini, ada empat nisan berjajar yang berisi jasad orang sakti dan juru kuncen makam. Mereka berasal dari keluarga Datuk.
Untuk memasuki kompleks pemakaman yang terletak di belakang permukiman warga, peziarah dapat melalui dua jalur. Pertama jalan setapak agak lebar di samping dinding pembatas kolam pancing. Kemudian jalan lainnya melalui pematang sawah yang bisa diakses melalui belakang kompleks rumah warga.
Setiba di depan lokasi pemakaman, peziarah akan disambut dua patung harimau kecil yang nangkring di tiang depan kompleks. Di sisi kiri, ada pohon beringin. Akarnya yang menjuntai menambah kesan mistis di tempat tersebut.
Sang juru kunci makam keramat, Yanto, mengajak Liputan6.com masuk saat datang di kompleks makam. Dia lantas mempersilakan duduk di salah satu ruangan. Sejurus kemudian, pria yang juga keturunan Datuk Banjir itu terus memandangi sekitar. Matanya liar seolah banyak makhluk yang datang di ruangan tersebut.
Di tempat ini, Yanto menuturkan, peristiwa aneh kerap terjadi di kompleks pemakaman Datuk Banjir. Ini lantaran peziarah tidak mengindahkan aturan yang ditetapkan di makam keramat tersebut.
"Jadi kemarin ada perempuan tiba-tiba kakinya jeblos di lantai keramik ini sedalam betis. Padahal saat diketuk lantai itu sangat padat," kata Yanto mengawali perbincangan, Jakarta, Rabu, 22 Maret 2017.
Pantangan Peziarah
Yanto menuturkan, ada sejumlah larangan yang harus ditaati oleh para peziarah. Larangan itu berasal dari petuah sang kakek yang disampaikan secara turun-temurun.
"Untuk masuk sini, enggak boleh pakai seragam apa pun. Mau tentara, polisi atau siapa pun, enggak boleh pakai seragam ke sini. Itu larangan dari kakek saya dulu," ujar Yanto.
Asal muasal larangan ini berasal dari satu peristiwa yang diceritakan turun-temurun. Kala itu, Indonesia masih dijajah Belanda. Para serdadu hendak menyerang Datuk Banjir dan warga Lubang Buaya. Lalu Datuk Banjir berdoa. Mendadak kawasan itu seperti danau. Para serdadu pun merasakan seperti tenggelam meski tak ada air.
"Dua bulan lalu, malahan ada yang langgar pantangan. Dia kayak kelelep dan tenggelem di jalan ono, padahal kagak ada air," kata Yanto berkisah soal seorang tentara yang datang ke makam keramat.
Selain pantangan tersebut, peziarah juga harus memiliki niat bersih. Penyakit hati seperti sombong harus dihilangkan.
"Kalau tidur atau jika rebahan, kepala harus menghadap salah satu arah angin dan tak boleh tidur atau menduduki ranjang serba putih tadi. Pantangan terakhirnya, tak boleh membawa topeng apa pun mendekati makam," ujar Yanto.
"Saya cuma nyebutin pantangan. Kalau dilanggar, ya saya enggak tanggung jawab," ujar dia.
Untuk tata cara berdoa, Yanto menyebut, tak ada pantangan. Terserah peziarah ingin berdoa apa pun. Bila ingin berdoa, Yanto siap membimbing mengucapkan doa-doa khusus.
"Doa ini sudah diajarkan turun-temurun, saya ndak bisa menyebutkannnya, tapi kalau memang ingin berdoa, mari saya bimbing," ujar Yanto menawari.
Advertisement
Kereta Nyi Roro Kidul
Tak hanya itu, Yanto juga menawarkan air yang diklaim sebagai obat penyakit. Air itu bisa ditimba sendiri dari sebuah sumur sekitar 2 meter, atau minta ditimbakan oleh Yanto.
"Ini sumur peninggalan Mbah. Enggak pernah kering, mau musim kemarau juga tetap ada airnya," terang Yanto.
Dua batang pohon tumbuh dekat sumur tersebut. Lima langkah dari sumur, terdapat sebuah bangunan yang berisi empat makam berderet. Di sudut paling gelap ruangan, terdapat kereta tanpa kuda terparkir.
"Itu kereta peninggalan kakek, kuncen pertama makam ini. Gunanya agar mengingatkan generasi berikutnya bahwa kita hanya orang tak punya apa-apa dan tak perlu ada yang disombongkan," ujar Yanto.
Soal kereta, Yanto memiliki kisah tersendiri. Semasa kakek dan ayahnya masih hidup, ia kerap mendengar gemerincing kereta saat menjelang senja.
"Itu Nyi Roro Kidul singgah. Beliau biasanya sore-sore datangnya, tapi sejak ayah saya meninggal, ia jarang datang," kata Yanto.
Menurut Yanto, setiap kuncen per generasi memiliki kelebihan masing-masing. Misal neneknya yang juga menjadi kuncen memiliki kelebihan menjaga sebuah golok warisan dari Datuk Banjir.
"Dulu nenek juga menjaga keris bongkok dan satu wayang kulit besar. Tapi yang saya, cuma jaga golok. Kalau keris bongkok sama wayangnya sudah pergi dengan sendirinya, pergi dengan gaib," jelas Yanto.