Liputan6.com, Jakarta - Bau busuk menyeruak di ruang sebuah panti sosial. Sesosok tubuh perempuan terbujur kaku. Jasad tersebut siap dimandikan Sumiyati Irsyad, petugas pemandi jenazah dari Dinas Kehutanan (dahulu Pemakaman dan Pertamanan) Provinsi DKI Jakarta yang biasa disebut Palang Hitam atau Palhit.
Jasad perempuan sepuh itu merupakan jasad kedua yang dimandikan Sumiyati. Dalam sehari, perempuan 44 tahun ini bisa memandikan dua hingga empat jenazah. Sumiyati langsung bergegas memasang sarung tangan karet dan masker.
Baca Juga
“Ini akan kita mandikan,” kata Sumiyati kepada Journal Liputan6.com, Selasa, 21 Maret 2017.
Advertisement
Pengurusan jenazah ini menjadi pekerjaan sehari-hari Sumiyati dan teman-temannya di Palang Hitam. Mereka terbiasa berjaga 24 jam dalam sehari, tujuh hari dalam sepekan, dan 30 hari dalam sebulan. Mereka melakoni semuanya.
Tak ada raut kesal yang tergurat di wajah Sumiyati dan kawan-kawan. Padahal, mereka harus siaga mengurus jenazah di se-antero Ibu Kota. Mengevakuasi, memandikan, hingga mengguburkan, sudah menjadi hal yang biasa.
Sumiyati bercerita dirinya telah lebih dari lima tahun menjadi pengurus jenazah. Sudah beragam jenazah yang diurusnya. Mulai dari yang utuh hingga tak komplet pernah dia mandikan.
Perempuan asal Koja, Jakarta Utara ini mengaku, menikmati setiap proses pengurusan jenazah. Meski awalnya, Sumiyati mengaku tak pernah punya bayangan bekerja seperti saat ini.
“Kirain cuma nulis tapi langsung ketemu mayat yang kakinya buntung, air besarnya belepotan,” kata Sumiyati menceritakan pengalaman pertama mengurus jenazah.
Kegiatan mengurusi mayat ini memang menjadi tugas mereka. Ricky Putra, Kepala Seksi Pelayanan dan Perpetakan Makam Dinas Kehutanan DKI Jakarta menuturkan, pihaknya biasa mengurus hingga 10 jenazah dalam sehari.
Angka tersebut didasarkan atas rekapitulasi jumlah pelayanan yang tercatat di Dinas Kehutanan. Tercatat ada 10.446 jenazah diurus petugas selama kurun 2013 hingga 2016. Dari angka tersebut, sekitar 2.323 jenazah dimandikan petugas Palhit.
Angka 2.323 jenazah tersebut, kata Ricky, merupakan rekapitulasi pelayanan pemandian jenazah yang dilakukan untuk anggota panti sosial. “Proses memandikan yang pasti dilakukan, yakni ketika menjemput jenazah dari panti ke TPU. Sedangkan dari TKP ke RSCM, belum tentu (dimandikan),” kata Ricky.
Jasa pengurusan jenazah yang dilakukan petugas Palang Hitam ini diakui sangat membantu. Samatrin, salah seorang pengurus Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia III Jakarta Selatan menceritakan, mereka terbiasa memanggil petugas Palhit jika ada salah satu anggota panti yang meninggal.
Menurut Samatrin, petugas gesit dan tak pernah menampik panggilan. “Kita mah kalau sudah ada petugas, sudah tenang,” ucap lelaki 45 tahun ini.
Rasa tenang yang dirasakan pengurus panti, berbanding terbalik dengan yang dirasakan Sumiyati. Sumiyati menuturkan, dirinya memang sudah tak pernah deg-degan saat mengurus jenazah. Hanya saja, dia selalu kepikiran sesuatu usai memandikan jenazah.
Sebab, kata dia, dirinya kadang tak tega melihat jenazah yang sudah terbujur kaku tanpa ada seorang pun yang menunggui. Sampai-sampai, kata dia, dirinya pernah mendapati tubuh jenazah sudah dikerumuni semut.
“Itu saya nangis. Ya Allah. Nenek-nenek meninggal, enggak ada keluarga, boro-boro ada yang ngajiin, malah disemutin,” kata Sumiyati.
Karena Tubuh Manusia
Petugas Palang Hitam mengaku sudah tak pernah merasa aneh, canggung atau malas untuk mengurus mayat. Bagi mereka, mayat terlantar atau tidak, tak pernah dibeda-bedakan. Petugas Palhit punya anggapan, semua jenazah membutuhkan penanganan segera.
Madi (50), mengaku sudah 27 tahun menjadi pemandi jenazah. Selama waktu tersebut, Madi menuturkan, dirinya sudah menangani ribuan jenazah. Kakek satu cucu ini tak keberatan harus berkeliling ke se-antero Ibu Kota hanya untuk memandikan jenazah.
“Kalau enggak ada tugas malah jenuh,” kata Pak Madi, sapaannya.
Pak Madi bukan menyumpahi supaya selalu ada yang meninggal. Hanya saja, dirinya sudah terbiasa mengurus jenazah sehingga jika tak ada yang diurus membuatnya menjadi tak bekerja. Ia mencontohkan, pengalaman saat harus mengevakuasi jenazah yang kepada dan badannya terpisah hingga 200 meter. Atau saat kerusuhan Mei 1998.
Peristiwa-peristiwa tersebut, kata Madi, membuat dirinya kebal dengan rasa jijik terhadap mayat. Pengalaman kehilangan rasa jijik ini, juga dirasakan Ismetollah (34), petugas lainnya di Palhit. Ismetollah menuturkan, rasa jijik atau sikap antipati lain terhadap jenazah sudah mereka buang jauh-jauh.
Ini dikarenakan, kata lelaki yang akrab disapa Ismet ini, jijik bisa menghambat kinerja mereka saat harus berhadapan dengan jenazah. “Kalau kita takut atau jijik, nanti masyarakatnya juga bingung,” kata Ismet.
Sikap tersebut, kata dia, bukan menandakan mereka pemberani. Akan tetapi, kata dia, lebih kepada profesionalitas kerja dan sikap menghormati nilai kemanusiaan yang membutuhkan pertolongan. “Iya, lebih ke nilai kemanusiannya,” ucap Ismet.
Sikap menghormati ini juga yang menghinggapi benak Sumiyati. Lima tahun bukan waktu sebentar untuknya menjalani tugas pemulasaran jenazah. Selama waktu itu, Sumiyati kerap digelayuti perasaan sedih tatkala memandikan jenazah.
Kesedihan tersebut, kata Sumiyati, bukan lantaran dirinya meratapi nasib menjadi pemandi jenazah. Sebaliknya, kesedihan kerap datang tatkala menyaksikan tubuh manusia harus menjadi kaku dan mengeluarkan bau busuk tanpa ada seorang pun yang mau mengurusnya.
“Kadang saya lihat, sudah tiga hari (mati). Belatung sudah banyak,” kata Sumiyati.
Advertisement
Memulasara Nilai Kemanusiaan
Mengurus jenazah rupanya bukan pekerjaan mudah. Selain ada tata aturan agama yang memberikan penjelasan, ada aturan sosial dan budaya yang terkait dalam pemulasaraan jenazah. Namun, pemandian jenazah, sebagai salah satu bagian pemulasaraan, ternyata tak banyak berpengaruh terhadap mayat.
Djaja Surya Atmaja, ahli forensik dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, menerangkan, proses pemandian jenazah tak berkaitan dengan masalah medis. “Itu cuma masalah budaya dan agama. Enggak ada kaitan dengan medis,” ucap Djaja.
Keterangan Djaja dikuatkan Kombes Anton Castilani, Direktur Eksekutif Disaster Victim Identification (DVI) Mabes Polri. Anton menyebut, pemandian jenazah dilakukan untuk membersihkan mayat. “Itu masalah etis dan agama, supaya mayat bersih,” kata Anton.
Sebaliknya, Djaja mengatakan, masalah serius justru dihadapi para pemandi jenazah ini. Menurut Djaja, ada ancaman kesehatan yang membayangi petugas selama proses tersebut.
Ancamannya berkaitan dengan virus atau kuman yang sebelumnya menempel di tubuh jenazah. Virus tersebut seperti Hepatitis B, Hepatitis C, HIV, Meningitis, Microbacterium Tubercolosis. Kuman atau virus bisa menular lewat cairan yang keluar dari tubuh jenazah. Djaja mencontohkan seseorang yang meninggal karena penyakit Muntaber atau virus HIV.
“Itu bisa menulari. Karena ada kontak waktu memandikannya,” ucap Djaja.
Kekhawatiran Djaja tampaknya dipahami petugas Palhit. Sumiyati dan kawan-kawannya sudah sadar betul, jenazah yang mereka urus bisa membahayakan kehidupan mereka. Bukan tanpa sebab, kata Sumiyati, salah seorang petugas pernah mengalami gatal-gatal lantaran terkena cairan dari tubuh jenazah.
Toh, ancaman penyakit yang berpotensi mengadang kinerja mereka bukan menjadi soal utama. Sumiyati, Ismet, Madi beserta teman-teman lainnya tetap keukeuh menjadi pengurus jenazah terlantar. Mereka tak takut mesti ancaman penyakit berada di depan mata. Musababnya satu, mereka tak tega membiarkan jenazah manusia diabaikan begitu saja.
“Ya bisa dibayangkan kalau bangkai tikus segitu kecilnya tapi aromanya sudah lumayan, bagaimana dengan bangkai manusia,” kata Ismet dan ditimpali Sumiyati. “Kalau bukan kita yang urus, ya siapa lagi.”