Sukses

Bareskrim: Tak Mudah Jerat Ujaran Kebencian di Facebook

Dengan restore justice diharapkan nantinya pelaku dapat menjadi agen perubahan yang bisa mengedukasi komunitasnya.

Liputan6.com, Jakarta - Perbedaan regulasi hukum yang berlaku antara pemerintah Indonesia dengan Amerika Serikat menjadi hambatan bagi penyidik Bareskrim Polri untuk menyelidiki sejumlah kasus ujaran kebencian di jejaring sosial Facebook.

"Perbedaan regulasi jadi tantangan kami dengan pemilik FB di Amerika Serikat," kata Kasubdit II Direktorat Siber Bareskrim Polri Kombes Pol Himawan Bayu Aji di Jakarta, Minggu 26 Maret 2017.

Dia mengatakan, terdapat sejumlah ujaran kebencian yang dibagikan para pemilik akun di Facebook. Kendati demikian, pihaknya kesulitan untuk meminta data pelaku ujaran kebencian tersebut kepada pihak Facebook.

"Mereka enggak akan berikan data karena di AS, hate speech itu biasa saja," kata Himawan seperti dikutip dari Antara.

Ia menyebut, sejumlah kasus ujaran kebencian maupun kasus SARA di Facebook ditangani dengan restore justice, yaitu pembinaan terhadap pelaku untuk menumbuhkan kesadaran etik dalam penggunaan teknologi informasi atau siber atau media sosial. Sehingga diharapkan nantinya pelaku dapat menjadi agen perubahan yang bisa mengedukasi komunitasnya.

"Kalau dia men-share, belum jadi viral, kami lakukan restore justice, meminta dia lakukan permintaan maaf, hapus konten, lalu minta dia sosialisasikan ke komunitasnya," kata Himawan.

Menurut dia, restore justice layak untuk dilakukan karena penegakan hukum saja tidak akan efektif.

"Penegakan hukum saja tidak efektif 100 persen. Kami tangkap satu, muncul tiga pelaku. Kami tangkap tiga, muncul 10 pelaku," ujar Himawan.

Selain itu, restore justice juga dilakukan karena jumlah personel Bareskrim yang terbatas. Tak hanya pelaku yang dijadikan agen perubahan, pihaknya juga menggandeng sejumlah komunitas siber untuk meluruskan berbagai berita-berita bohong yang beredar di media sosial.