Sukses

Saksi Ahli di Sidang Ahok Menilai Dakwaan Terlalu Prematur

Ahli hukum pidana I Gusti Ketut Ariawan menilai kasus Ahok seharusnya diselesaikan berdasarkan Pasal 2 Penetapan Presiden Nomor 1/1965.

Liputan6.com, Jakarta Ahli hukum pidana I Gusti Ketut Ariawan menganggap pasal yang didakwakan terhadap Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok terlalu prematur. Menurut dia, Ahok seharusnya ditindak berdasarkan Pasal 2 Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Pasal itu menjelaskan, barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 (penistaan agama atau penodaan agama) diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Dengan begitu, kasus Ahok seharusnya diselesaikan secara preventif, bukan represif.

"Kenapa, karena judul daripada undang-undang itu adalah pencegahan, berarti preventif, bukan represif," ujar Gusti dalam persidangan kasus dugaan penistaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Rabu (29/3/2017).

Menurut dia, PNPS 1965 merupakan cikal bakal terciptanya Pasal 156 dan 156a dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Namun Pasal 156 bukan terkait penodaan agama.

"Pasal 156 KUHP jelas-jelas kasus penodaan hanya ditujukan bagi golongan dan bukan soal agama," tutur dia.

Adapun bunyi Pasal 156 KUHP adalah: "Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah".

Gusti melanjutkan, Pasal 156a KUHP yang dikenakan kepada Ahok juga dianggap tidak tepat. Sebab, pasal tersebut dikeluarkan pemerintah untuk menghindari perpecahan.

"Pasal (156a KUHP) itu untuk menghindari hadirnya kepercayaan-kepercayaan baru di Indonesia pada masa itu. Jadi dakwaannya tidak jelas dan tidak dapat diterima," ucap Gusti.

Gusti menambahkan, peraturan tersebut pernah diujimaterikan di Mahkamah Konstitusi pada 2009 dan 2012. Namun, saat itu MK tidak mengabulkannya. Karena itu, penindakan seharusnya sesuai dengan PNPS 1966, yakni secara preventif atau pencegahan.

"Ini kan saya jelaskan bahwa seharusnya yang diberlakukan itu seyogyanya PNPS 1965. Tapi ini kan dianggap tindak pidana yang tercantum dalam KUHP. Jadi saya tidak sependapat seperti itu," terang dia.