Liputan6.com, Jakarta - Pembunuhan siswa SMA Taruna Nusantara, Magelang, Jawa Tengah, Krisna Wahyu Nurachmad, tergolong pembunuhan berencana dengan hukuman mati. Namun, karena pelaku masih di bawah umur, maka hanya tersancam hukuman maksimal 10 tahun.
"Jika dikenakan dakwaan pembunuhan berencana, maka secara normal ancaman hukumannya bisa berupa hukuman mati. Tapi karena dia masih berusia anak-anak (belum 18 tahun), maka boleh jadi maksimal hanya penjara 10 tahun," ujar Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel kepada Liputan6.com, Minggu (2/4/2017).
Reza menjelaskan, pelaku pembunuhan ini memang masih di bawah umur. Namun, kasus tersebut tidak bisa diselesaikan secara diversi atau di luar persidangan.
Advertisement
"Itu risiko karena toh diversi--penyelesaian kasus pidana anak di luar persidangan-- tidak mungkin dilakukan, mengingat ancaman hukuman yang lebih dari tujuh tahun tersebut," ujar dia.
Menurut Reza, tujuan hukuman atau memenjarakan anak sejatinya untuk melindungi masyarakat itu sendiri dan merehabilitasi pelaku kejahatan.
"Melindungi masyarakat, merehabilitasi pelaku, dan mengintegrasikan pelaku ke masyarakat. Dengan rehab yang maksimal, potensinya positif. Itu berarti, kemungkinan remaja menjadi residivis bisa ditekan," dia menegaskan.
Reza mengatakan, hukuman terhadap anak selain dapat merehabilitasi juga mengurangi potensi menjadi seorang residivis. Karena itu, AMR pelaku pembunuhan siswa SMA Taruna Nusantara berpotensi positif.
"Tampaknya ya, karena dia anak cerdas dan mempunyai pemahaman akan benar-salah. Empatinya sepertinya tetap ada. Itu ditunjukkan saat dia--spt pemberitaan media--mengucapkan maaf sebelum beraksi," ujar dia.
Mirip Pembunuhan di Mancanegara
Reza menilai kasus pembunuhan siswa SMA Taruna Nusantara seperti terjadi di banyak negara. Di mana pembunuhan dilakukan remaja yang berawal dari luapan emosi.
"Unik bahwa mirip dengan kebanyakan kasus serupa di negara lain, pembunuhan yang dilakukan remaja berawal dari luapan emosi, dilakukan pada malam hari, dan menggunakan senjata tajam," ujar dia.
"Ledakan emosi adalah faktor tipikal pada aksi-aksi kekerasan remaja. Tapi sulit menerima teori tersebut berlaku di STN. Mungkinkah ada masalah menumpuk, sehingga sakit hati 'hanya' pemicu?" Reza melanjutkan.
Karena itu, Reza menambahkan, belajar dari kasus pembunuhan siswa SMA Taruna Nusantara, patut menjadi evaluasi bersama terkait ketersediaan tenaga dan fasilitas psikis di sekolah.
"Nah, menjadi relevan pertanyaan tentang ketersediaan tenaga dan fasilitas kesehatan psikis bagi remaja di sekolah," Reza menandaskan.
Krisna Wahyu Nurachmad ditemukan tewas di kamar asramanya SMA Taruna Nusantara, Magelang, Jawa Tengah, pada Jumat 1 Januari pagi. Dia diduga dibunuh teman sekolahnya, AMR, akibat masalah peminjaman ponsel, yang jelas-jelas dilarang di sekolah tersebut.
Akibat pembunuhan siswa SMA Taruna Nusantara itu, AMR dijerat dengan Pasal 80 Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana.