Sukses

Hamka Haq: Jika Ayat Tak Diundangkan, Jangan Mudah Kafirkan Orang

Ketua Umum Baitul Muslimin Indonesia Hamka Haq mengupas mengenai fenomena agama ditunggangi kepentingan politis.

Liputan6.com, Jakarta - Kegaduhan sosial politik menerpa di tengah masyarakat menyusul serangkaian demonstrasi sejumlah organisasi massa atau ormas yang mengatasnamakan agama dalam rentang setengah tahun terakhir. Nuansa politis ditengarai sangat kental dalam berbagai aksi tersebut. Toleransi dan kebinekaan yang selama ini terjaga di Indonesia pun terusik.

Fenomena tersebut turut menjadi perhatian Ketua Umum Baitul Muslimin Indonesia Hamka Haq. Bila benar ditunggangi kepentingan politis, menurut mantan Guru Besar di IAIN Alauddin, Makassar, Sulawesi Selatan, aksi seperti itu tidak bisa dikatakan murni perjuangan agama.

"Karena kita harus menyadari posisi hidup di negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, NKRI, dan kebinekaan," ucap Hamka Haq saat berbincang dengan reporter Liputan 6 SCTV Realino Oscar di kediamannya, beberapa hari lalu.

Menurut penulis buku Islam, Pancasila dan Pluralisme tersebut, masyarakat Indonesia bukan hidup di negara seperti Arab Saudi yang notabene 100 persen muslim atau mono-agama dan mono-budaya.

"Kita di sini beragam, baik etnis, budaya maupun agama. Jadi diperlukan kebersamaan," tutur pria kelahiran Barru, Sulawesi Selatan, yang genap berusia 64 tahun tersebut.

Lebih jauh ia memaparkan, fenomena agama ditunggangi kepentingan politis muncul lantaran kekurangtahuan mengenai posisi sebagai umat beragama dalam negara Pancasila.

"Saya harus mengulangi di sini, bahwa dalam kaitan dengan negara Pancasila sebagai negara hukum dan dengan kita sebagai umat beragama itu, ada tiga kategori ayat atau ajaran agama bila dikaitkan dengan negara (berdasar) Pancasila," ia menekankan.

Tak Diundangkan, Ayat Tak Berlaku

Pertama, Hamka Haq memaparkan, kategori syariat Islam berlangsung secara otomatis karena diakui oleh konstitusi seperti yang tertuang dalam Pasal 29 UUD 1945. Ayat-ayat atau syariat yang berlaku atau diberlakukan karena diundangkan oleh negara dan dibuat undang-undangnya oleh negara.

Sebagai contoh, syariat Islam tentang keluarga diatur dalam UU Perkawinan yang tertuang dalam UU No 1 1974. Di sini diatur tentang perkawinan, perceraian serta anak yang dikompilasikan dengan hukum syariat Islam dan berlaku karena diundangkan oleh negara.

Hanya saja, menurut anggota Komisi VIII DPR yang membidangi sosial dan agama tersebut, ayat-ayat yang tidak diundangkan oleh negara tidak bisa diberlakukan di Indonesia, sebagai contoh pencuri.

"Di Al-Maidah 38, pencuri itu dipotong tangan. Akan tetapi tidak bisa diberlakukan di Indonesia karena negara tidak mengatur UU tersebut," ujar dia.

Kedua, hal ini sama kaitannya dengan UU Pilkada. Dalam UU Pilkada, tidak ada aturannya Pilkada itu sah menurut ajaran agama masing-masing. "Jadi ayat-ayat pidana seperti itu dan juga politik tidak bisa diberlakukan di Indonesia. Karena tidak diundangkan dalam negara," Hamka Haq menjelaskan.

"Misalnya, UU Pilkada membolehkan muslim memilih nonmuslim kalau dia mau. Membolehkan nonmuslim kalau dia mau, tidak ada paksaan. Jika ia mau, itu dibolehkan," ia menambahkan.

Dengan kata lain, warga memilih kandidat dalam Pilkada yang bukan seagama tidak serta-merta disebut kafir. "Jadi, jangan terlalu mudah membuat statement kafir karena hanya satu ayat yang belum berlaku di Indonesia," kata penasihat Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak 2010 tersebut.

Lalu, bagaimana pandangan lebih jauh terhadap beberapa demonstrasi mengatasnamakan umat Islam yang ditengarai bermuatan politis? Bagaimana pula pendapat Ketua Umum Baitul Muslimin Indonesia itu mengenai merawat persatuan, kebinekaan, dan toleransi di republik ini?

Simak selengkapnya video wawancara Liputan 6 SCTV dengan Hamka Haq berikut ini.

Â