Sukses

Menolak Lupa, 3 Korupsi Ini Lebih Fantastis dari Kasus E-KTP

Banyak nama terkenal disebut di kasus e-KTP. Jumlah kerugian negara Rp 2,3 T. Namun, masih ada kasus yang lebih fantastis dari ini lho.

Liputan6.com, Jakarta - Kasus e-KTP mengejutkan publik. Banyak nama terkenal yang disebut selama penyidikan dan persidangan. Jumlah uang yang mengalir pun tak sedikit. Komisi Pemberantasan Korupsi menduga negara rugi Rp 2,3 triliun.

Juru bicara KPK Febri Diansyah menuturkan, KPK akan mengungkap 70 orang yang turut dalam megakorupsi ini.

Ada tiga orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Dua di antaranya sudah menjadi terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Mereka adalah dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, yakni Irman dan Sugiharto.

Sidang kasus e-KTP ini tidak semulus harapan sebagian orang. Terlebih dengan adanya pencabutan berita acara pemeriksaan (BAP) oleh saksi Miryam S Haryani dalam sidang kasus ini. Politikus Hanura tersebut mengaku mencabut BAP karena dia mendapat tekanan saat memberikan keterangan di KPK.

Ada pula politikus yang mengaku menerima uang hampir Rp 1 miliar. Dia adalah mantan Ketua Fraksi Partai Demokrat, Jafar Hafsah. Dia mengaku sempat terima uang dari Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin terkait kasus e-KTP. Total uang yang dia terima sebesar Rp 987 juta. Uang itu sudah dikembalikannya ke KPK.

Selain Jafar, ada 13 orang lainnya yang telah mengembalikan uang hasil korupsi e-KTP. Namun, KPK masih merahasiakannya.

Menurut catatan Liputan6.com, masih ada sejumlah korupsi yang lebih besar dari kasus e-KTP. Berikut ini tiga di antaranya:

1. Kasus BLBI

Kasus BLBI belum tuntas, dalam artian, koruptor dalam perkara tersebut masih melakukan perlawanan. Beberapa di antaranya buron. Mereka biasanya kabur ke luar negeri dengan alasan harus berobat.

Saking lamanya kabur, seorang terpidana seumur hidup kasus BLBI meninggal dunia di Australia, 26 Januari 2003.

Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan pada 2000, BLBI merugikan negara Rp 138,442 triliun. Padahal, jumlah dana yang disalurkan Rp 144,536 triliun.

Kasus BLBI sendiri bermula saat krisis moneter 1997-1998. Sejumlah bank mendapat suntikan dana dari pemerintah.

Kredit BLBI itu diberikan kepada 48 bank. Sebanyak 18 di antaranya merupakan bank beku kegiatan usaha, 15 bank dalam likuidasi, 10 bank beku operasi, dan 5 bank take over.

2 dari 3 halaman

2. Kasus Kondensat

Pengusutan kasus korupsi dan pencucian uang dalam penjualan kondensat yang melibatkan PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI) dan SKK Migas pada 2009 telah berjalan hampir dua tahun.

Namun, kasus ini belum juga naik ke tahap penuntutan. Bahkan sejak kasus tersebut terkuak pada Mei 2015, Kepala Bareskrim sudah mengalami pergantian tiga kali, yakni dari Komjen Budi Waseso, Komjen (Purn) Anang Iskandar, terakhir Komjen Ari Dono.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyelesaikan perhitungan perkiraan kerugian negara (PKN) kasus ini sebesar 2,7 miliar dolar AS atau sekitar Rp 35 triliun. Namun, ada dugaan kerugian negara bertambah. Oleh karena itu, pada akhir tahun lalu, PKN kasus tersebut diaudit kembali.

Pada Selasa, 29 Maret 2016 berkas kasus ini sudah diserahkan tahap pertama ke Kejaksaan Agung. Namun, dikembalikan dengan disertai petunjuk jaksa untuk dipenuhi penyidik Bareskrim.

Berkas yang diserahkan ke Kejagung tersebut adalah berkas ketiga tersangka, yakni mantan Kepala BP Migas Raden Priyono, mantan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono, dan mantan Dirut TPPI Honggo Wendratno.

Dari tiga tersangka itu, dua tersangka, yakni Raden Priyono dan Djoko Harsono, sempat ditahan di Bareskrim. Namun akhirnya penahanan keduanya ditangguhkan dengan alasan sakit.

Sedangkan Honggo masih berada di Singapura usai menjalani operasi jantung pada 2015. Pihak Bareskrim telah mengeluarkan daftar pencarian orang (DPO) bagi Honggo.

Hingga saat ini, belum ada perkembangan terkait kasus tersebut.

3 dari 3 halaman

3. Kasus Century

Kasus Century berawal dari kepanikan atau rush nasabahnya, sehingga melakukan penarikan dana besar-besaran pada 13 November 2008. Pada 20 November 2008 Bank Indonesia (BI) menyatakan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

Pada 2013, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyampaikan kepada KPK Laporan Hasil Perhitungan (LHP) kerugian negara atas kasus pemberian FPJP kepada Bank Century dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik tersebut. Terkuak, ternyata uang negara yang "ditilep" mencapai Rp 7,4 triliun.

"Berdasarkan hasil pemeriksaan, BPK menyimpulkan terdapat penyimpangan yang dilakukan pihak-pihak terkait," kata Ketua BPK, Hadi Poernomo, di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin, 23 Desember 2013.

Menurut dia, pertama ditemukan kerugian negara akibat pemberian FPJP dari BI kepada Bank Century sebanyak Rp 689,39 miliar. Nilai tersebut merupakan penyaluran FPJP pada 14, 17, dan 18 November 2008.

Kedua, penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik telah mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 6,76 triliun. Nilai tersebut merupakan keseluruhan penyaluran Penyertaan Modal Sementara (bail out) oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

"Itu terhitung selama periode 24 November 2008 sampai 24 Juli 2009," ujar Hadi. Sehingga jika dijumlahkan, total kerugian negara akibat kasus tersebut mencapai Rp 7,449,39 triliun.

Pemeriksaan LHP kerugian negara itu dilaksanakan berdasarkan surat permintaan KPK pada 15 April 2013 lalu. Selanjutnya, setelah dilakukan koordinasi antara BPK dan KPK pada 18 Oktober 2013, BPK menerbitkan surat tugas pemeriksaan dalam rangka penghitungan kerugian negara.

"BPK pun telah menyelesaikan perhitungan kerugian negara dalam kasus ini pada 20 Desember 2013," ujar Hadi.

Beberapa orang yang terlibat dalam kasus ini belum bisa ditangkap alias buron. Dua buron kasus Century di antaranya malah melakukan perlawanan di forum arbitrase International Centre for Settlement Investment Disputes (ICSID). Keduanya adalah Hesham Al-Warraq dan Rafat Ali Rizvi.