Liputan6.com, Jakarta - Belakangan masyarakat Indonesia ramai dan hiruk-pikuk membicarakan metode debat ala Zakir Naik, seorang dokter bedah dari India yang menjadi juru dakwah atau "evangelis Muslim" populer.
Oleh sebagian masyarakat Islam di Indonesia, Zakir Naik, yang di negaranya India menjadi buron pemerintah karena dugaan keterlibatannya (baik langsung maupun tidak langsung) dalam berbagai kasus intoleransi, kekerasan, dan terorisme sehingga ceramah-ceramahnya dicekal, dinilai sukses mengalahkan rival-rivalnya terutama Kristen tetapi juga Muslim non-Salafi.
Di India sendiri, tradisi debat publik antar-tokoh agama bukanlah hal baru, baik antara tokoh Muslim dan Kristen maupun antar-tokoh Muslim sendiri yang berbeda mazhab, organisasi, dan haluan pemikiran.
Advertisement
Zakir Naik hanyalah melanjutkan tradisi debat yang sudah lama mengakar di India maupun di kawasan Islam pada umumnya.
Selain Zakir Naik, tokoh Muslim populer lain yang menggunakan metode debat dalam berdakwah adalah Ahmed Deedat (1918-2005), seorang misionaris Muslim yang juga kelahiran India (Gujarat) tetapi menetap di Afrika Selatan, yang oleh Zakir Naik dianggap sebagai gurunya.
Dedaat adalah pendiri International Islamic Missionary Organization. Sama seperti Zakir Naik, Ahmed Deedat juga gemar berdakwah dengan "menguliti" Kristen (umatnya, ajarannya, kitab suci-nya, maupun sistem teologinya).
Dalam konteks masyarakat Islam Indonesia sendiri, metode debat pernah menjadi "tren" sejumlah tokoh Muslim, tetapi bukan dalam konteks berdebat dengan tokoh-tokoh Kristen, melainkan dengan sesama Muslim yang berbeda ormas keislaman dan pandangan keagamaan.
Debat yang cukup populer misalnya antara KH Abdul Wahab Chasbullah (salah satu pendiri Nahdlatul Ulama) dengan Syaikh Ahmad Surkati (pendiri Jam'iyyah al-Islah wa al-Irsyad wa al-Islamiyah atau dikenal dengan al-Irsyad saja) atau Ahmad Hassan (pendiri Persatuan Islam) mengenai berbagai topik atau masalah pemikiran dan wacana keislaman.
Apakah metode debat hanya dilakukan oleh para tokoh Muslim saja? Tentu saja tidak. Kristen juga punya banyak tokoh misionaris-evangelis populer, baik yang suka debat maupun tidak, yang memukau banyak orang.
Sebut saja Joel Osteen, Billy Graham, T.D. Jakes, Ted Haggard, Franklin Graham, Rick Warren, Ian Paisley, dsb. Islam dan Kristen memang dua agama misionaris-dakwah yang kuat. Karakteristik kedua agama dari rumpun Semit ini berbeda dengan agama-agama lain yang tidak begitu kuat "doktrin misionarismenya".
Dulu, di Jawa (dulu belum ada "Negara Indonesa"), umat Kristen juga punya penginjil dan tokoh misionaris ahli debat yang bernama Radin Abbas, yang populer dengan sebutan Kiai Sadrach (1835-1924) dari Jawa Tengah.
Ia adalah murid Kiai Ibrahim Tunggul Wulung yang juga seorang pendeta Kristen dan penginjil populer di Jawa Tengah dan Jawa Timur di abad ke-19. Dulu, sebutan "kiai" disematkan kepada siapa saja (atau apa saja) yang dianggap memiliki keahlian, kelebihan, kesaktian, kharisma, dan keramat.
Dalam menggalang pengikut Kristen, Kiai Sadrach menggunakan metode debat publik yang bisa berlangsung berhari-hari. Selain sebagai penginjil ulung, Kiai Sadrach dan Kiai Ibrahim Tunggul Wulung adalah tokoh-tokoh anti kolonialisme Balanda.
***
Meskipun tentu saja tidak ada masalah menggunakan metode debat, dan memang Islam juga dalam batas tertentu menggarisbawahi tentang metode debat yang baik dengan argumen, logika, dan retorika untuk "menundukkan" lawan.
Tetapi dalam konteks relasi antar-agama, khususnya Muslim-Kristen yang menjadi fokus tulisan ini, dialog adalah jalan terbaik untuk membangun hubungan harmonis dan toleran kedua kelompok agama ini.
Ada sejumlah perbedaan substansial antara debat dan dialog. Pertama, dalam debat yang dicari adalah kalah-menang. Sementara dalam tradisi dialog, tidak ada kalah-menang. Semuanya adalah "pemenang", karena setiap agama memiliki keunikan dan keistimewaan masing-masing, yang tidak bisa dihakimi oleh orang lain yang tidak pernah "mengalami sendiri dari dalam".
Dalam konteks dialog, juga tidak ada istilah "lawan" atau "musuh" yang perlu dikalahkan. Yang dianggap "lawan" dalam debat (baca, lawan debat) adalah "teman" dalam dialog (baca, teman dialog).
Karena tidak ada "lawan debat", melainkan "teman dialog", maka dalam tradisi dialog yang menjadi agenda atau fokus utama bukanlah "kalah-menang" melainkan bagaimana masing-masing bisa merasakan dan merayakan kemenangan.
Kedua, dalam metode debat yang selalu dicari adalah kekurangan dan kelemahan pihak lawan, untuk kemudian diserang dengan gigih supaya kalah. Pendebat itu seperti petinju yang selalu mencari kekurangan dan kelemahan lawan. Maka, begitu ia mengetahui "titik lemah" di bagian tubuh rivalnya, maka ia akan terus menyerang dan meninju bagian tubuh yang lemah itu untuk melumpuhkan lawan.
Sebaliknya, dalam dialog, yang menjadi fokus utama adalah kelebihan dan kekuatan masing-masing pihak yang bisa dijadikan sebagai medium untuk membangun kerja sama produktif-kreatif di masa depan.
Ketiga, dalam tradisi debat, masing-masing pihak konsentrasi pada "perbedaan", bukan pada "persamaan" sebagaimana dalam dialog. Kalaupun membahas sejumlah perbedaan (doktrin, ajaran, teks, wacana, simbol, ritual, maupun tradisi keagamaan), maka itu dilakukan dalam rangka untuk mencari "makna dan pemahaman otentik dari dalam" (dari masing-masing agama), sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Dengan kata lain, perbedaan dalam konteks dialog dijadikan sebagai "medium belajar" untuk saling-memahami masing-masing agama.
Hal ini tentu saja berbeda dengan debat, di mana perbedaan itu justru dijadikan sebagai bahan olok-olok untuk menunjukkan kedangkalan dan kelemahan agama lain di satu sisi serta supremasi, kehebatan, dan keunggulan agamanya sendiri di pihak lain.
Selanjutnya, dalam tradisi dialog, ketimbang memperuncing perbedaan seperti dalam debat, masing-masing pihak mencari persamaan masing-masing agama yang bisa dijadikan sebagai sarana untuk membangun "common ground" yang positif-konstruktif, yang didasari pada spirit saling menghargai dan menghormati masing-masing agama.
Pencarian dan penekanan pada "persamaan" itu dalam rangka untuk mewujudkan persatuan, bukan perpecahan antaragama.
Kempat, dalam dialog, ada komitmen bersama yang tulus dari masing-masing pihak untuk membangun hubungan antaragama yang dinamis, dan menyehatkan tanpa melukai masing-masing pihak itu. Komitmen semacam ini tidak ada dalam tradisi debat karena energinya terkuras untuk melumpuhkan dan mempermalukan lawan.
Kelima, tradisi dialog bertumpu pada kerendahatian dan "relativisme". Sedangkan dalam debat ada semacam keangkuhan dan persepsi tentang "kemutlakan" agamanya sendiri. Klaim tentang agamanya sendiri yang paling benar, serta tidak ada kebenaran dalam agama-agama lain merupakan salah satu ciri utama tradisi debat.
Sementara itu, dalam tradisi dialog, meskipun masing-masing mengakui kebenaran agamanya tetapi juga mengakui dan menghargai pendapat pengikut agama lain, yang mengakui kebenaran agamanya, sehingga timbul sikap terbuka atau inklusif (open minded), bukan tertutup dan eksklusif.
***
Ada cukup banyak karya akademik yang membahas tentang pentingnya dialog agama ini. Antara lain, Muslims, Chrisians, and the Challenge of Interfaith Dialogue, karya Jane I. Smith.
Sarjana dan praktisi dialog agama kenamaan, Leonard Swidler juga pernah menulis buku bagus berjudul Trialogue: Jews, Christians, and Muslims in Dialogue.
Profesor Mahmoud Ayoub yang ahli di bidang kajian Islam, Al-Qur’an, dan perbandingan agama juga pernah menulis buku yang sangat simpatik dan mendapat respons positif dari publik Kristen dan Muslim berjudul A Muslim View of Christianity: Essays on Dialogue. Buku ini membahas berbagai isu keislaman-kekristenan dari perspektif "dialog" bukan "debat" agama, sangat kontras dengan apa yang didakwahkan oleh Zakir Naik.
Selain itu, juga cukup banyak karya yang memuat kasus-kasus real dan sukses tentang dialog Kristen-Muslim di berbagai negara, sehingga mampu mengubah dan mentransformasi hal-hal yang pada mulanya sangat negatif-destruktif, kemudian menjadi positif-konstruktif, dari keburukan menjadi kebaikan, dari perpecahan dan konflik menjadi persatuan dan harmoni, dari ketidakpercayaan menjadi kepercayaan (trust), dari lawan menjadi kawan. Begitu seterusnya.
Beberapa karya itu antara lain A Muslim and A Christian in Dialogue, buku hasil kolaborasi antara David Shenk, seorang sarjana, aktivis, dan tokoh Kristen Mennonite Amerika, dengan Badru Kateregga, seorang akademisi, praktisi, dan tokoh Muslim dari Uganda yang pernah menjadi Duta Besar Uganda untuk Arab Saudi.
Kemudian Christian-Muslim Dialog in Northern Nigeria, sebuah studi kasus kerja sama Kristen-Muslim yang sangat apik di Nigeria.
Juga tidak lupa buku Basudara Stories of Peace from Maluku: Working Together for Reconciliation. Buku yang diedit oleh Pdt. Jacky Manuputty, Zairin Salampessy, dan Ihsan Ali-Fauzi, semuanya para aktivis-praktisi perdamaian, berisi tentang kisah-kisah heroik tentang proses rekonsiliasi dan perdamaian Kristen-Muslim di Maluku.
Jadi, ketimbang berdebat, kenapa kita tidak memupuk dan menumbuhkembangkan dialog Kristen-Muslim saja? Dengan begitu kesalahpahaman semakin diminimalisir, sekaligus supaya tercipta kesalingpemahaman antara kedua kelompok agama ini.