Liputan6.com, Jakarta - Kopi sachet baru selesai diseduh saat Suherman meminta pemilik warung membuatkannya segelas kopi. Cuaca panas sedikit membuat Suherman lelah. Ia baru selesai berkeliling memantau persiapan kampanye terakhir Pilkada DKI 2017. Suherman merupakan relawan calon gubernur yang sedang bertarung dalam pesta demokrasi Ibu Kota.
Di warung tersebut, Suherman biasanya menghabiskan banyak waktu. Sekadar untuk bercengkerama dengan sesama warga atau bertegur sapa. Warung tersebut berada persis di samping rumah Ahmad Yani, yang biasa digunakan sebagai tempat berkumpul relawan calon gubernur lainnya.
Tak jarang, Suherman bertemu atau mengobrol banyak dengan Ahmad Yani. Seperti yang terjadi selepas salat Jumat, 14 April 2017. "Di sini mah biasa," kata Suherman kepada Journal Liputan6.com.
Advertisement
Tak ada jarak di antara mereka. Keduanya tetap akur meski berbeda pilihan. Ahmad Yani dan Suherman tampak berbaur dan tak saling membatasi. Mereka bersaudara, dan sudah bersahabat sejak kecil. "Elitenya saja yang saling bermusuhan karena beda pendapat," ucap Yani menimpali.
Komentar Yani ini seperti memprotes hiruk-pikuk Pilkada DKI Jakarta. Maklum, Pilkada DKI 2017 dianggap banyak pihak sebagai yang terpanas. Suhu politik di Ibu Kota meningkat sejak sebelum calon gubernur ditetapkan KPU DKI. Bahkan, tensi tinggi merembet ke berbagai arah.
Tak bisa dimungkiri, DKI Jakarta kerap menjadi tempat berebut kuasa. Banyak yang percaya, DKI akan memuluskan jalan menjadi orang nomor satu di NKRI. Itu kenapa, Pilkada DKI Jakarta menjadi peristiwa politik yang kerap memicu tensi yang luar biasa.
Setidaknya, itu yang tergambar dalam studi yang dilakukan sejumlah lembaga survei. Nona Evita, peneliti di Populi Center, mengatakan, pemilihan kepala daerah di DKI menjadi hal penting. "Posisi gubernur Jakarta ini sangat stategis sekali. Seperti posisi ketiga setelah Presiden dan Wakil Presiden," ujar Nona.
Pendapat Nona tak bisa disangsikan. DKI Jakarta merupakan daerah khusus yang punya anggaran pendapatan dan belanja daerah terbesar di Indonesia. Pada 2016, APBD DKI disepakati Rp 62,9 triliun. Sedangkan pada 2017, APBD DKI disepakati Rp 70,1 triliun. Besaran anggaran ini membuat gubernur DKI punya tanggung jawab yang besar pula.
Â
Itu kenapa, Nona Evita menyebut, Pilkada DKI 2017 menjadi pertarungan penting. Bukan karena pemenang akan menggelola dana anggaran yang besar. Tapi juga sebagai tolok ukur politik nasional. Ini kemudian, memicu pertarungan tensi politik menjadi panas.
"Beda halnya dengan daerah lain," kata Nona.
Tak hanya tensi politik di lingkaran elite, tensi tinggi juga tampak di lingkaran bawah. Sejumlah polemik sempat menghinggapi perjalanan pilkada ini. Tema politik identitas kembali berembus. Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, salah satu calon gubernur, bahkan termakan isu ini. Walhasil, Ahok tersandung perkara dugaan penistaan agama.
Tema identitas ini rupanya memicu polemik yang tak semenjana. Identitas, hal yang berkaitan dengan suku, agama, ras, antargolongan atau SARA menjadi salah satu tema sentral di pilkada ini. Seperti ajakan menolak menyalatkan jenazah pendukung calon berbeda agama.
Dirga Ardiansa, pengamat politik dari Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, bahkan menyebut, tema politik identitas di Pilkada DKI, jauh lebih kuat dibandingkan Pemilu Presiden 2014. "Yang paling kuat ya sekarang," kata Dirga.
Panasnya pilkada ini juga membakar ke dunia maya. PoliticaWave, lembaga riset yang memerhatikan percakapan di dunia maya, merekam suhu dan tensi percakapan tentang pilkada. Selama pilkada bergulir, PoliticaWave berulang kali melakukan studi. Studi terakhir dilakukan pada 1 hingga 14 April 2017.
Yose Rizal, pendiri PoliticaWave, menerangkan, hasil studi yang dilakukan lembaganya menemukan, suhu pilkada di dunia maya jauh lebih panas dari di dunia nyata. Ini dikarenakan dunia maya tak memiliki batasan. "Dan dunia maya enggak kenal masa tenang," ucap Rizal.
Rizal menyebut, ada 14.603.893 percakapan dari 2.258.354 warga internet yang memperbincangkan Pilkada DKI 2017. Dari jumlah tersebut, beragam sentimen bermunculan. Dua pasang calon yang bertanding, tak pelak menerima beragam serangan. Serangan tersebut bersifat personal atau sebatas mempertanyakan program.
"Panas banget. Pastinya apa yang ada di dunia nyata, ada di dunia maya," kata Rizal.
Berbeda tapi Tetap Silaturahmi
Riuh rendah dan panas dingin suhu Pilkada DKI Jakarta memang menghinggapi sejumlah sudut Ibu Kota. Saut menyaut serangan bermunculan. Tak jarang, membikin warga kudu tegang. Tapi, tensi tinggi dan suhu panas seperti tak tampak di kawasan RT 04/06 Kelurahan Duri Kosambi, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat.
Hiruk-pikuk warga tampak seperti biasa pada Kamis siang, 13 April 2017. Saat itu, debu, terik matahari, bau selokan, dan suara alat berat milik kontraktor, berbaur akrab dengan warga. Warga sudah terbiasa. Mereka tak mempersoalkan bagaimana kondisi lingkungan mereka. Bahkan, mereka juga tampak abai dengan riuh ramai pilkada.
Keacuhan ini tampak dari minimnya atribut kampanye di kawasan ini. Saat mengelilingi kawasan, hanya ada dua spanduk kecil berukuran 1x1 meter yang dipasangan pendukung Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Uno. Spanduk ini, terpasang di sebuah benteng yang persis berada di depan rumah Ahmad Yani.
"Karena saya relawan mereka," ucap lelaki kelahiran 1975 ini.
Di kawasan tersebut, kata Boti, sapaan Ahmad Yani, tak ada Posko Pemenangan Anies-Sandi. Pendukung pasangan nomor 3 ini, kata dia, hanya berkumpul di rumahnya atau warung kopi yang ada di samping rumah. Rumah Ahmad Yani hanya berjarak lebih kurang 150 meter dari Posko Pemenangan Ahok-Djarot.
Jarak yang tak terlalu jauh, membuat relawan Anies-Sandi terbiasa bertemu dengan relawan Ahok-Djarot. Ahmad Yani menerangkan, dirinya akan dengan senang hati berdiskusi dengan relawan pendukung lawan. Pilihan politik, kata dia, tak menjadikan mereka harus menepiskan silaturahmi yang selama ini sudah berjalan. "Kita mah enggak ada masalah," tutur Boti.
Potret semacam ini sudah berlangsung sejak lama. Kawasan permukiman padat itu tak pernah mengalami gesekan antarwarga. Menurut Suherman, warga di kawasan Duri Kosambi tak pernah ambil pusing dengan perbedaan pilihan politik. Kata dia, warga sudah sadar dengan apa yang mereka pilih.
Terlebih, kata Suherman, kebanyakan warga di Duri Kosambi punya hubungan saudara. Setiap warga di kampung tersebut, kata dia, berasal dari rumpun yang sama. Mereka warga Betawi yang sudah menetap sejak puluhan tahun lalu.
Sehingga, tak begitu muskil bagi Suherman dan Ahmad Yani untuk tetap akur. Lantaran, hubungan persaudaraan jauh lebih penting, ketimbang ikut meributkan suhu politik yang tak berkesudahan.
"Saya melihatnya miris aja. Elite-elitenya yang saling bermusuhan, kalau rakyat kecil kan ya tetap aja begini-begini aja. Enggak ada perubahan," ucap Ahmad Yani dan disahuti Suherman. "Jadi warga di sini mah pada mendem."
Â
Advertisement
Jakarta Selepas Pilkada
Awan gelap sempat berarak di langit Jakarta selepas perhitungan suara selesai dilaksanakan, Rabu siang, 19 April 2017. Raut murung tampak di muka Suherman. Ia tak bisa menyangkal kekecewaan. Lantaran, calon yang didukung kalah dalam perhitungan suara di TPS yang menjadi tanggung jawabnya.
Apalagi, hasil perhitungan cepat sejumlah lembaga survei menunjukkan, Ahok-Djarot tertinggal cukup jauh dari Anies-Sandiaga. Pasangan petahana ini hanya bisa meraih sekitar 40-44 persen suara. Sementara, Anies-Sandiaga mampu mendulang 55-58 persen suara.
"Enggak apa-apa," ucap Suherman dengan wajah sayu.
Cerita kesedihan Suherman menjadi catatan kaki dari geliat Pilkada DKI. Sebab, ada hal baru yang tanpa dia sadari, dilakukannya dalam menyemarakkan pesta demokrasi di Ibu Kota. Pilkada DKI Jakarta berhasil mendorong laju partisipasi politik tertinggi di Indonesia.
Â
Laju partisipasi ini tampak dalam dukungan yang dilembagakan atas nama relawan. Fenomena kemunculan relawan ini ditanggapi positif Nona dan Dirga. Kedua pengamat dari dua institusi berbeda ini menangkap, ada sinyal kebaharuan dalam sistem politik nasional.
Bagi Nona, kemunculan relawan ini berkaitan erat dengan tumbuhnya populisme politik di masyarakat Jakarta. Populisme politik merupakan diskursus baru dalam politik Indonesia. Isu ini sebelumnya muncul saat Pilpres 2014, saat Joko Widodo-Jusuf Kalla melawan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
"Ini menjadi sinyal positif, mereka berpartisipasi tak hanya di bilik suara," ucap Nona.
Berbeda dengan Nona, Dirga melihat dari sisi lain. Fenomena kemunculan relawan ini, menurut Dirga, berbanding lurus dengan keterlibatan warga DKI dalam memilih pemimpin. Buktinya, dia bilang, jumlah partisipasi pemilih di DKI jauh lebih besar daripada yang tidak memilih.
Ini tercermin dari hasil pemilihan di putaran pertama. Sebab sejak Pilkada DKI Jakarta digelar perdana satu dekade silam, angka keterlibatan masyarakat untuk memilih tak pernah melampaui 75 persen. "Ini sebenarnya adalah hal yang luar biasa. Artinya Jakarta sebagai Ibu Kota menunjukkan partisipasi politiknya cukup tinggi," kata Dirga.
Â
Di luar segala polemik dan fenomena politik, Suherman dan Ahmad Yani menyimpan banyak harapan. Suherman yang sempat bekerja sebagai calo tiket bus di Terminal Rawabuaya, hanya kepingin punya pekerjaan tetap. Ia sudah lama menganggur sejak terminal digusur.
Suherman kepingin, terminal kembali difungsikan. Sebab, dari terminal itulah dia punya duit buat memberi makan anak dan istri. "Semoga tempat ini (terminal) bisa dikembalikan. Biar bisa kembali bekerja seperti semula," ucap Suherman.
Pun begitu dengan Ahmad Yani. Lelaki yang bekerja serabutan ini menghendaki, gubernur baru bisa melaksanakan program yang mereka rencanakan. Sebab pada akhirnya, kata dia, realisasi program kerja merupakan hal yang harus menjadi kewajiban.
Tak lupa, dia mengharapkan, riuh rendah pilkada segera usai. Sebab, banyak hal lain yang masih perlu dipikirkan dan tak bisa selesai hanya dengan perdebatan. "Jadi, mudah-mudahan Jakarta lebih baik," kata Ahmad Yani sembari berharap.
Harapan Suherman dan Ahmad Yani, juga dirasakan Ahok-Djarot. Sebagai pihak yang kalah, dua petahana ini siap membantu transisi kepemimpinan di DKI. Ahok mau membantu Anies-Sandiaga merealisasikan program kerja dengan memberi data terkait DKI Jakarta. "Kami terbuka (kepada) Pak Anies, Pak Sandi untuk minta data. Karena sekarang sudah open government," ucap Ahok.
Ibarat gayung bersambut, Anies-Sandiaga cukup tahu diri. Mereka tak mau pongah. Tugas berat sudah menanti di depan mata. Pilkada bukan semata menjadi ajang mencari kuasa. Tapi juga, jalan merealisasikan apa yang sudah dijanjikan.
"Tanggung jawab kita adalah menunaikan amanah ini. Tugas kita adalah bekerja bersama. Meneruskan ikhtiar untuk merawat kebersamaan," ucap Anies saat menyampaikan pidato kemenangan.