Liputan6.com, Jakarta - Pemungutan suara Pilkada DKI Jakarta putaran kedua sudah selesai dilaksanakan. Lebih dari tujuh juta warga tuntas menunaikan kewajiban memilih. Hasil hitung cepat sejumlah lembaga sigi menempatkan Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahudin Uno sebagai pemenang. Mereka memecundangi Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan Djarot Saiful Hidayat dengan selisih hampir 10 persen.
Jika menilik ke belakang, perjalanan Pilkada DKI Jakarta 2017 termasuk salah satu pertarungan politik yang cukup melelahkan. Pilkada ini juga menjadi peristiwa yang terbesar di luar Pemilu Presiden. Ini bisa kita lihat dari tingginya angka partisipasi warga yang mencapai lebih dari 75 persen.
Sejumlah pengamat menilai, tingginya partisipasi ini menjadi indikator positif dalam berdemokrasi. Nona Evita, peneliti Populi Center menyebut, partisipasi warga bahkan tak hanya di bilik suara. Mereka menggelorakan semangat baru dalam berdemokrasi.
Advertisement
"Ada (semangat baru), dan ini menjadi sinyal positif," kata Nona kepada Journal Liputan6.com, Senin 19 April 2017.
Meski demikian, ada saja masalah yang masih menyelinap. Sebab, Pilkada DKI yang dianggap sebagai indikator politik nasional masih menjadi tempat aktor politik tradisional yang tak siap dengan perkembangan zaman.
Salah satu masalah tersebut yakni politik identitas. Tema politik identitas ini diakui Dirga Ardiansa, pengamat politik dari Puskapol UI, menjadi salah satu tema yang dimainkan dalam pilkada kali ini. Pilkada tak bisa benar-benar bersih dari tema politik yang tradisional.
"Aspek budaya politiknya masih primordial," ujar Dirga.
Berkaca dari Pilkada Jakarta, isu primordial sempat membikin situasi hampir tegang. Pemicunya, persoalan menyangkut isu agama. Ini tampak dari munculnya gerakan dilarang menyalatkan jenazah pemilih beda agama yang diusung sejumlah pihak di media sosial.
Jika ditilik lebih jeli, kata Dirga, isu semacam itu sebenarnya buah simalakama. Di kalangan bawah, penyerang bisa mendapatkan untung dari mobilisasi massa, dan yang diserang ditinggalkan pemilih tradisional. Di kalangan elite, penyerang mendapat tuduhan rasis, dan yang diserang mendapat empati.
"Jadi imbasnya, sebenarnya masyarakat yang terbelah," ucap Dirga.
Dirga dan Nona bukan tanpa alasan. Hasil sigi exit poll dan hitung cepat Saiful Mujani Research Center dan Populi Center menunjukkan, banyak pemilih menggunakan hak suara karena faktor kesamaan agama. Bahkan dalam survei SRMC terungkap, sebanyak 32,3 persen dari 2.029 responden bersikap antipati dipimpin gubernur nonmuslim.
Ini berarti, masalah politik identitas masih menjadi faktor cukup siginifikan di Pilkada DKI Jakarta. Sebab, identitas lebih utama dibandingkan dengan visi-misi yang diusung. "Ini jelas bukti dari masyarakat belum lulus ujian demokrasi," kata Nona.
Di luar masalah tersebut, hiruk-pikuk Jakarta masih tetap seperti biasa. Sebagai Ibu Kota, Jakarta punya lebih banyak masalah yang kudu diselesaikan. Meski demikian, konflik horisontal ini harus buru-buru diselesaikan. Sebab, ini bisa jadi preseden untuk Jakarta ke depan.
"Tantangannya adalah mengembalikan masyarakat yang sudah terkotak-kotak," kata Hendri Satrio, pakar komunikasi politik Universitas Paramadina.
Soal ini, rupanya disadari Anies-Sandi. Pilkada DKI telah menjadi ujian buat seluruh warga DKI dalam berdemokrasi. Keduanya sadar, DKI harus segera berbenah. Sebab, ujian sudah tuntas ditunaikan. Keduanya mengajak warga untuk kembali bersama-sama membangun Jakarta yang baru belajar berdemokrasi.
"Tugas kita tidak berhenti hari ini. Justru tugas yang lebih besar menanti di hadapan kita. Bukan hanya untuk Anies, bukan hanya untuk Sandi. Tapi, ini adalah kerja bersama seluruh warga Jakarta," ucap Anies saat menyampaikan pidato kemenangan.