Sukses

Mediator Hubungan Industrial Harus Proaktif Tangani Unjuk Rasa

Mediator harus lebih proaktif dalam menangani unjuk rasa tanpa menunggu pencatatan ke Dinas Tenaga Kerja setempat.

Liputan6.com, Yogyakarta Persoalan Hubungan Industrial (HI) saat ini semakin kompleks. Berbagai tuntutan terkait dengan perlindungan pekerja dan kesejahteraan tidak hanya terbatas kepada masalah upah yang merupakan salah satu aspek yang sensitif di dalam hubungan kerja, tetapi juga terkait dengan sistem jamsos, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan persoalan lainnya yang tidak jarang diikuti oleh demo para aktivis buruh yang menyuarakan atas nama pekerja.

Perangkat pemerintah yang mempunyai peran penting untuk menjaga kondisi hubungan industrial yang kondusif adalah Mediator Hubungan Industrial. Mediator harus lebih proaktif dalam menangani unjuk rasa tanpa menunggu pencatatan ke Dinas Tenaga Kerja setempat maupun surat tugas dari pimpinan.

"Dalam hubungan industrial saat ini, demo (unjuk rasa) kerap dilakukan pekerja dalam menuntut upah, PHK, perlindungan pekerja dan Jaminan sosial. Disinilah sikap proaktif mediator HI mengambil peranan penting dalam mewujudkan hubungan industrial yang harmonis," ujar Sekretaris Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (Ditjen PHI dan Jamsos), Ending Khaerudin, yang mewakili Dirjen Haiyani Rumondang pada pembukaan rangkaian kegiatan Ditjen PHI dan Jamsos di Yogyakarta, Kamis (20/04) kemarin.

Semua mediator HI harus prihatin unjuk rasa akhir-akhir ini. Unjuk rasa itu berarti tidak tercapai kesepakatan antara pengusaha dan pekerja. Untuk mencapai ini ya tugas mediator.

“Semua mediator hubungan industrial (HI) harus mempunyai tekad dalam hati dan pikiran bahwa tugasnya adalah tercapainya hubungan industrial yang harmonis antara pengusaha dan pekerja atau buruh,” tutur Ending.

Kalangan buruh melihat upah sebagai sumber penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup, sementara pengusaha melihatnya sebagai salah satu biaya produksi. Melihat berbagai kepentingan yang berbeda, pemahaman utuh mengenai sistem pengupahan yang tertuang pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan beserta turunannya sangat diperlukan untuk memperoleh kesatuan pengertian dan penafsiran terutama antara buruh dan pengusaha.

"Oleh karena itu, pelaksanaan kegiatan penyebarluasan peraturan perundangan tentang pengupahan dengan melibatkan sebanyak mungkin masyarakat ini perlu dikedepankan agar peraturan perundangan yang berlaku dapat tersampaikan dengan benar," katanya.

Ending menambahkan, di sinilah diperlukan peran aktif pemerintah termasuk Mediator untuk melayani, mengawasi, dan menindak pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

Dalam rangkaian kegiatan Ditjen PHI dan Jamsos, diadakan pula Bimbingan Teknis sistem pelaporan bidang hubungan industrial dan Jamsos tingkat regional Wilayah Barat, yang diselenggarakan oleh Bagian Program, Evaluasi, dan Pelaporan, Setditjen PHI dan Jamsos dengan tujuan untuk menyamakan pandangan dan pemahaman mengenai sistem pelaporan bagi para petugas penyusun laporan pusat dan daerah.

“Kegiatan ini diikuti oleh 50 orang peserta yang terdiri dari Petugas Penyusun Laporan dari Bidang HI dan Jamsos dan Sekretariat Dinas Tenaga Kerja dari 17 Provinsi, serta petugas penyusun laporan dari Satker Pusat,” tutup Ending.

Powered By:

Kementerian Ketenagakerjaan