Sukses

Surat Lunas BLBI, Antara Kebijakan dan Pelaksanaan

Inpres Megawati Soekarnoputri mengatakan SKL diberikan kepada obligor setelah melunasi utang-utangnya dari kucuran BLBI.

Liputan6.com, Jakarta - Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kembali meruyak ke permukaan. Itu terjadi setelah KPK  menetapkan mantan kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Temenggung sebagai tersangka kasus penerbitan surat keterangan lunas (SKL) BLBI.

SKL sendiri lahir dari instruksi presiden (Inpres) No 8 Tahun 2002 yang diterbitkan Presiden saat itu Megawati Soekarnoputri.

Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Yenny Sucipto menilai, Megawati Soekarnoputri belum tentu terlibat dalam kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Meskipun, Megawati yang mengeluarkan Inpres Surat Keterangan Lunas (SKL) bagi para obligor.

"Kalau melihat kasusnya, Megawati mengeluarkan Inpres SKL pada 2002. SKL itu dikeluarkan dengan catatan bahwa diberikan setelah mereka lunas. Nah ini (SKL) diberikan tahun 2004," kata dia di Kantor Seknas Fitra, Mampang, Jakarta Selatan, Rabu (26/4/2017).

Yenny menyebutkan, instruksi Megawati saat mengeluarkan Inpres itu sangat jelas. Yakni, SKL diberikan kepada obligor setelah melunasi utang-utangnya dari kucuran BLBI.

"Apakah ada instruksi ke BPPN? Instruksi ini kan diberikan pada saat pelunasan. Kalau tidak dilunasi berarti tidak diberikan SKL-nya. Kalau belum pelunasan tapi sudah diberikan (SKL) berarti ada kesalahan dari yang diberi kewenangan. Belum tentu Megawati yang salah," sebut dia.

Secara logika, menurut Yenny, pada 2004, Megawati menjadi presiden hanya setengah tahun. Jika menduga Megawati berperan dalam kasus BLBI, ia menyatakan, harus ada bukti.

Jika tidak ada, ia mengingatkan, tidak bisa menghakimi Megawati yang saat itu menjabat presiden. Sebab, Megawati mengeluarkan kebijakan dan kebijakan itu dijalankan lembaga di bawahnya.

"Nah sekarang ada atau enggak instruksi untuk memberikan (SKL) itu sebelum pelunasan. Itu kan harus ada bukti otentik. Instruksi itu tidak bisa digunakan untuk menghakimi pemimpin saat itu. Nah, bisa saja KPK menarik penyidikannya pada 2002 hingga 2004," ujar dia.

"Instruksi ini diberikan kepada instansi yang diberikan limpahan kewenangan untuk menjalankan. Nah, yang dilimpahkan kewenangan itu apa bermain? Bisa saja seperti itu, perlu dibuktikan," sambung Yenny.

Masih kata Yenny, saat Megawati mengeluarkan Inpres untuk penerbitan SKL itu pasti ada pertimbangan matang yang sudah dikaji sebelumnya.

"Pada saat itu dia memang memiliki kuasa atas anggaran, dia menelurkan kebijakan. Pasti ada pertimbangan-pertimbangan tertentu. Kalau dipanggil pemeriksaan ya Megawati sebaiknya datang menjelaskan itu. Tapi dari beberapa statement yang muncul, ini (SKL BLBI) diberikan ketika sudah lunas," papar Yenny.

KPK menetapkan Syafruddin Temenggung sebagai tersangka dalam kasus penerbitan SKL BLBI. Syafruddin diduga telah menguntungkan diri sendiri, orang lain dan korporasi, dengan menyalahgunakan wewenang dalam penerbitan SKL BLBI kepada Samsul Nursalim, selaku pemegang saham BDNI, pada 2004.

SKL tersebut memuat perubahan atas proses litigasi obligor restrukturisasi oleh obligor BLBI dalam hal ini Sjamsul Nursalim kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.

Dari hasil restrukturisasi tersebut, sebanyak Rp 1,1 triliun sustainable dan ditagihkan kepada petani tambak. Sebesar Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi.

"Sehingga masih ada kewajiban obligor Rp 3,7 triliun. Namun April 2004 tersangka SAT mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban pemegang saham kepada Syamsul Nursalim atas kewajibannya, padahal seharusnya ada kewajiban Sjamsul Nursalim Rp 3,7 triliun," papar Komisioner KPK Basaria Panjaitan, Selasa 25 April 2017.