Sukses

KPK Cegah Eks Kepala BPPN Syafruddin A Temenggung ke Luar Negeri

Terkait kasus SKL BLBI ini, KPK telah memeriksa 32 saksi dari BPPN, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), BI dan Kemenkeu.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta pihak Imigrasi untuk mencegah mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) bepergian ke luar negeri.

Hal tersebut guna memudahkan penyidikan kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sudah menjadikan Syafruddin sebagai tersangka.

"Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan pencegahan terhadap SAT," ujar juru bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (26/4/2017).

Pencegahan tersebut dilakukan sejak 21 Maret lalu, yakni sebelum Syafruddin ditetapkan sebagai tersangka oleh lembaga antirasuah ini. "Pencegahan berlaku selama enam bulan ke depan," kata Febri.

Jubir KPK ini mengaku, dalam penyelidikan kasus SKL BLBI ini pihaknya sudah memeriksa 32 saksi dari BPPN, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Tiga orang di antaranya Menteri Keuangan dan Menteri Koordinator Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal Ramli, Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) era Presiden Megawati Soekarnoputri, Kwik Kian Gie, dan Artalyta Suryani.

Artalyta pernah divonis dalam suap kasus BLBI terhadap jaksa Urip Tri Gunawan (UTG) pada 2008. Dari 32 orang yang pernah diperiksa dalam tahap penyelidikan kemungkinan akan kembali dipanggil dalam proses penyidikan.

"Rizal Ramli dan Artalyta Suryani akan dijadwalkan pemeriksaan ulang," sambung jubir KPK ini.

2 dari 2 halaman

Syafruddin Arsyad Temenggung Tersangka

Dari penyelidikan KPK, Syafruddin Arsyad Temenggung yang menjabat Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada Mei 2002 mengusulkan perubahan kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) terkait proses litigasi menjadi restrukturasi atas kewajiban penyerahan aset obligor yakni BDNI.

Kemudian, Sjamsul Nursalim diwajibkan menyerahkan asetnya sebesar Rp 4,8 triliun. Pembayaran kewajiban tersebut bisa dilakukan dengan penyerahan aset atau dana tunai.

Namun, karena BDNI tidak memiliki dana tunai, maka dalam proses ini melibatkan petani tambak. Sebab, BDNI mengucurkan kredit sebesar Rp 1,1 triliun kepada petani tambak. Dana itulah yang kemudian digunakan BDNI untuk membayarkan kewajibannya kepada BPPN.

"Sebanyak Rp 1,1 triliun sustainable dan ditagihkan kepada petani tambak," kata Wakil Ketua KPK Basari Panjaitan dalam keterangan persnya di KPK, Jakarta, Selasa, 25 April 2017.

Nah, sisanya sebesar Rp 3,7 triliun tidak ditagih BPPN atau dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Malahan, BPPN mengeluarkan SKL untuk Sjamsul Nursalim.

"Akan tetapi pada April 2004, tersangka selaku Ketua BPPN mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban pemegang saham/SKL terhadap obligor Sjamsul Nursalim atas semua kewajibannya kepada BPPN. Padahal saat itu masih ada kewajiban setidaknya Rp 3,7 triliun," tutur Basaria di KPK.

Sebelumnya, dugaan korupsi aliran dana BLBI ini juga pernah diusut Kejaksaan Agung. Sjamsul Nursalim saat itu telah ditetapkan sebagai tersangka, namun Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyedikan (SP3) atas kasusnya pada 13 Juli 2004.

SP3 ini dikeluarkan lantaran adanya Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2002. Bagi debitor kooperatif yang sudah mengantongi Surat Keterangan Lunas (SKL) maka diberikan jaminan bebas dari jeratan pidana. Kejaksaan mengategorikan Sjamsul sebagai debitor kooperatif yang telah melunasi kucuran dana bantuan pemerintah.

Video Terkini