Sukses

Kejanggalan Penerbitan SKL BLBI Menurut Rizal Ramli

Rizal Ramli menyebut ada kejanggalan dalam penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) Rizal Ramli menyebut ada kejanggalan dalam penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). SKL itu diterbitkan kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Kepala BPPN saat itu, Syafruddin Arsyad Tumenggung (STA) menerbitkan SKL saat obligor belum melunaskan utang sejumlah aset kepada BLBI. Syafruddin menerbitkan SKL untuk Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim, padahal BDNI masih memiliki tunggakan Rp 3,7 triliun.

"Ini memang ada keanehan, kok bisa ada obligor dan enggak hanya satu, ada beberapa obligor yang belum melunasi. Kok diberi keterangan lunas? Inilah yang sedang KPK selidiki," ujar Rizal di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (2/5/2017).

BDNI merupakan satu dari 48 bank yang menerima SKL BLBI oleh Syafruddin. Masih ada bank lain yang juga menerima SKL, yakni BCA, Bank Umum Nasional milik Bob Hasan dan masih banyak bank-bank lainnya.

Penerbitan SKL ini diketahui berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 yang dikeluarkan Megawati Soekarnoputri.

"SKL itu dikeluarkan 2004 (saat pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri), bukan pada masa kami. Saya jadi menteri 2000-2001," kata Rizal.

Rizal mengatakan, kejanggalannya karena Syafruddin semena-mena dalam menerbitkan SKL padahal obligor tersebut belum melunasi utang. Menurutnya, kalau obligor tersebut sudah melunasi, penerbitan SKL merupakan sebuah kewajiban.

Indikasi penyimpangan yang dilakukan oleh Syafruddin ini yang tengah didalami KPK. "Itu lah kasus ini KPK sedang diselidiki, saya setuju dengan KPK. Kalau ada yang belum lunas, harus bayar," tandas Rizal.

Dalam kasus ini, KPK baru menetapkan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka penerbitan SKL BLBI kepada BDNI milik Sjamsul Nursalim. Penerbitan SKL itu diduga merugikan negara hingga Rp 3,7 triliun.