Liputan6.com, Jakarta - Daerah Matraman, Jakarta Timur, kerap dijadikan ajang 'pertempuran' warga Berlan dan Pal Meriam. Namun ternyata, tawuran antarwarga ini disebut sudah terjadi beberapa kali, sejak 1970 masa Gubernur Ali Sadikin.
Dikutip dari Kisah Betawi Tempo Doeloe Robin Hood Betawi buah karya Alwi Shahab, Kamis (4/5/2017), perseteruan dua kelompok warga itu dahulunya lebih banyak dipicu masalah ideologi. Masing-masing kubu memiliki fanatisme terhadap Partai Golkar dan PPP.
"Pemuda Berlan sebagian besar anak 'tangsi' dan banyak menjadi anggota Forum Komunikasi Putra/i Purnawirawan ABRI (FKPPI). Mereka menjadi pendukung Partai Golkar. Sedangkan warga Pal Meriam dan Tegalan di seberangnya banyak menjagokan PPP," tulis Alwi.
Advertisement
Fanatisme itu pun mengundang aksi bentrokan antarwarga. Saat kampanye pemilu, Golkar kerap mendapat ejekan kala melintasi kawasan Pal Meriam. Hal yang sama diterima PPP kala melewati Berlan. "Buntutnya terjadi beberapa kali bentrokan."
Situasi ini membuat Sutiyoso pusing. Pria yang kala itu menjabat gubernur pun mengancam akan memecat aparat Pemda setempat, jika bentrokan kembali melanda kawasan Matraman.
Tempat Pertempuran
Pertarungan di Matraman ternyata tak hanya terjadi usai era merdeka. Pada 1628 dan 1629, tempat yang kala itu masih hutan belukar juga menjadi ajang pertempuran.
Balatentara Mataram saat itu menggali parit pertahanan untuk menghadapi serangan-serangan meriam Belanda. Para tentara Mataram ini menginap di lokasi tersebut untuk mendekati Kota Batavia, yang berpusat di Pasar Ikan.
"Lepas dari dua kali ekspedisi Kerajaan Mataram yang gagal, para pejuang berhasil membuat panik dan kerusakan di beberapa bagian kota Jakarta," cerita Alwi.
Sejumlah lokasi yang rusak tersebut di antaranya Balaikota yang kini gedung Museum dan Sejarah DKI di Jalan Falatehan, Jakarta Barat.
Bahkan dalam peristiwa itu, dikabarkan Gubernur Jenderal JP Coen tewas akibat terluka dalam serangan tersebut. Namun kematian Coen, tiga hari setelah serangan Mataram menurut versi Belanda karena sakit.
"Sejak saat itu kubu pertahanan Mataram diabadikan menjadi nama tempat hingga sekarang ini. Entah karena apa, lidah orang Betawi waktu itu menyebut Mataram menjadi Matraman," demikian Alwi.