Liputan6.com, Jakarta - Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Hamami Nata termangu. Matanya menerawang. Bagaimana tidak, proyektil peluru ditemukan dari 4 jenazah mahasiswa dalam Tragedi Trisakti yang tewas saat unjuk rasa 12 Mei 1998.
"Saya sudah perintahkan kepada semua anak buah saya agar mereka tidak menggunakan peluru tajam. Mereka yang menghadapi pengunjuk rasa hanya dibekali peluru karet atau peluru hampa yang terbatas jumlahnya. Dari mana datangnya peluru ini?" ujar dia. Berulang kali Hamami menegaskan hal itu.
Adalah almarhum Abdul Mun'im Idris yang mengungkapkan hal itu. Dokter forensik Universitas Indonesia itu diminta polisi untuk melakukan autopsi terhadap 4 mahasiswa yang tewas saat unjuk rasa di depan kampus.
Advertisement
Unjuk rasa yang berujung tumpahan darah itu terjadi sekitar pukul 18.00 WIB. Saat itu, separuh mahasiswa Trisakti yang berunjuk rasa kembali ke dalam kampus. Sebelumnya, mereka berencana long march ke Gedung MPR/DPR, namun ditahan pihak keamanan.
Saat memasuki kampus itulah peristiwa berdarah bermula. Letusan senjata menggema dari arah belakang atau barisan aparat keamanan yang ada di depan Kantor Wali Kota Jakarta Barat. Seketika, gas air mata berembus ke arah mahasiswa yang masih berada di luar kampus. Suasana pun tidak terkendali.
4 Mahasiswa Tewas
Tak hanya itu, para mahasiswa yang berusaha untuk masuk ke dalam kampus, menerima kekerasan fisik seperti dipukul dan ditendang. Tembakan peluru karet pun tertuju ke Ketua Senat Mahasiswa Universitas Trisakti Hendra di sekitar pinggang.
Tidak diketahui siapa yang memulai kekacauan itu, termasuk asal-muasal tembakan. Merujuk sejumlah saksi mata, bisa diketahui aparat yang berada di atas jembatan layang mengarahkan senjata mereka ke dalam kampus.
Sekitar pukul 19.00 WIB, sudah tidak terdengar lagi suara tembakan dan lemparan gas air mata. Sejumlah mahasiswa tergeletak bersimbah darah. Ceceran darah serta pecahan kaca terlihat jelas. Tangisan ketakutan juga masih terdengar dari sejumlah sudut kampus pada malam itu.
Dalam situasi yang masih tak menentu itu, para mahasiswa nekat membantu serta mengevakuasi rekan-rekannya yang terluka ke Rumah Sakit Sumber Waras yang tak begitu jauh dari lokasi kampus tempat terjadinya Tragedi Trisakti.
Ketika itulah diketahui, tiga mahasiswa tewas di tempat, satu lagi dinyatakan tewas di rumah sakit, dan 15 orang terluka serta cedera.
Mereka yang tewas adalah Elang Mulya Lesmana, mahasiswa jurusan arsitektur kelahiran 5 Juli 1978. Hafidin Royan atau Idhin, mahasiswa jurusan teknik sipil kelahiran Bandung, 28 September 1976. Hendriawan Sie, mahasiswa jurusan manajemen asal Balikpapan, Kalimantan Timur. Kemudian Hery Hartanto, mahasiswa jurusan teknik mesin angkatan 1995.
Pengakuan Mun'im Idris
Selasa 12 Mei 1998 malam, Mun'im Idris baru saja tiba di rumahnya, di Cengkareng, Jakarta Barat. Teleponnya tiba-tiba berdering. Di ujung telepon sudah ada Kasat Serse Polres Metro Jakarta Barat, Kapten Idham Azis.
"Dok, bantu kami, dok. Ada korban penembakan," kata Idham Azis.
"Di mana, Pak?" jawab Mun'im.
"Korban ada di RS Sumber Waras. Dokter meluncur saja ke pos polisi di Terminal Grogol," lanjut Idham Azis.
Mun'im pun langsung bergegas menuju pos polisi. Ketika tiba, ia diminta menunggu hingga pukul 23.00 WIB.
"Pak, daripada menunggu tidak jelas, lebih baik saya berangkat ke Sumber Waras. Toh tidak jauh dan jalanan sepi, tinggal lurus saja," ujar dia.
Usul Mun'im diterima. Polisi tak berseragam memboncenginya dengan sepeda motor. Dua petugas lain menemani, dengan sepeda motor berbeda. Jakarta sunyi mencekam. Para polisi itu memilih jalan tikus, bukan menyusuri jalan utama.
"Pak dokter, kita tidak tahu siapa kawan siapa lawan. Ini semua demi keselamatan dokter," kata si petugas ketika ditanyakan soal pilihan rutenya seperti diceritakan Mun'im dalam buku Indonesia X-Files: Mengungkap Fakta dari Kematian Bung Karno sampai Kematian Munir.
Sesampainya di RS Sumber Waras, Mun'im baru tahu ada 4 mahasiswa Universitas Trisakti tewas ditembak. Ketika berhadapan dengan jenazah, Mun'im tidak dapat langsung melakukan tugasnya. Sebab, pihak keluarga korban menolak autopsi.
"Bu, memang benar yang sudah wafat tidak mungkin bisa dihidupkan kembali. Akan tetapi almarhum masih mempunyai hak, hak untuk memperoleh keadilan..." kata Mun'im saat itu.
Negosiasi berlangsung sekitar 15 menit. Mun'im akhirnya bisa melakukan autopsi.
"Masing-masing mendapat luka tembak pada daerah yang mematikan, bukan untuk melumpuhkan. Ini jelas dari lokasi luka tembak... Ada di dahi dan tembus ke daerah belakang kepala, ada di daerah leher, di daerah punggung, dan ada yang di daerah dada," tulis Mun'im. Semua tewas karena peluru tajam.
Usai autopsi kelar, Mun'im pun menghubungi pihak Polres Jakarta Barat. Hal itu dilakukan Mun'im berdasarkan kesepakatan. Pada pukul 04.00 WIB, Mun'im bukan diantar kembali ke rumah, namun malah dibawa ke Mapolda Metro Jaya.
Di situlah Mun'im bertemu dengan Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Hamami Nata, yang ternyata telah menunggu. Dari pembicaraan dengan Hamami Nata, Mun'im menduga Polda Metro telah dikerjai pihak lain. Entah siapa.
Advertisement
Jawaban
Senin 18 Juni 2001, Mahkamah Militer II-08 Jakarta menggelar sidang kasus penembakan terhadap 4 mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998. Sebanyak 11 anggota Brimob Polri menjadi terdakwa dalam kasus itu.
Sidang kala itu mendengarkan dakwaan yang dibacakan oditur militer yang diketuai Letkol CHK Taufik Rahman. 11 anggota Brimob itu adalah Ipda Erick Kadir, Bripda Raul da Costa, Bharada Suparwanto, Bripda Joko Irwanto, Bripda Tedy Iskandar, Bripda Anang Yulianto, Bripda Cahyo Nugroho, Bharada Langgeng Sugianto, Bharada Idad Musadad (sudah meninggal dunia), Bharada Santoso dan Bripda Dominggus Pinto (desersi).
Majelis hakim diketuai Letkol Laut (KH) AR Tampubolon (hakim ketua), Letkol CHK Anton R Saragih (hakim anggota I), dan Letkol Laut (KH/W) Sinoeng Harjanti (hakim anggota II).
Usai pembacaan dakwaan, ketua majelis hakim menanyakan kepada 11 terdakwa terkait dakwaan. 11 terdakwa bersamaan menjawab, "Tidak mengerti."
Tampubolon kemudian meminta oditur militer untuk meringkas dakwaan. Oditur militer menjelaskan, dakwaan untuk 11 terdakwa disusun secara kumulatif yang terdiri dari dakwaan pertama dan kedua. Dari dua dakwaan itu, memiliki dua pasal alternatif.
Dakwaan pertama, alternatif pertama, pasal 338 KUHP jo 35 tentang tindak pidana merampas nyawa orang lain. Alternatif kedua, pasal 170 KUHP jo 2 tentang penggunaan kekerasan yang menyebabkan kematian pada orang lain.
Sedangkan dakwaan kedua, alternatif pertama menggunakan pasal 350 KUHP ayat 1 tentang penganiayaan. Sementara alternatif kedua, pasal 170 KUHP ayat 1 jo 1 tentang kegiatan yang menyebabkan luka-luka pada orang lain.
Semua dakwaan kemudian diserahkan kepada penasihat hukum terdakwa. Pembela terdakwa terdiri dari Hotma Sitompoel, Ruhut Sitompul dan beberapa perwira dari Badan Pembinaan Hukum Polri.
Dalang Penembakan
Soal siapa dalang penembak 4 mahasiswa Trisakti berkembang dua teori. Pertama, pelaku penembakan adalah anggota polisi dari satuan Brigade Mobil (Brimob). Kedua adalah sniper atau penembak jitu yang bukan berasal dari Polri.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon punya pendapat sendiri terkait kasus tersebut. Dalam bukunya berjudul Politik Huru Hara Mei 1998, Fadli Zon menjelaskan, Polri menolak tegas sebagai dalang penembakan 4 mahasiswa Trisakti.
Polri, menurut dia, menuding institusi lain yang sengaja menyudutkannya, yakni Tentara Nasional Indonesia (TNI), khususnya TNI Angkatan Darat. Ia menambahkan, pemeriksaan terhadap 12 anggota Brimob Polri tetap dilakukan Pusat Polisi militer (Puspom) TNI.
Meski begitu Kapolri ketika itu Jenderal Dibyo Widodo, Fadli Zon melanjutkan, tetap ngotot anggotanya tidak terlibat dalam penembakan 4 mahasiswa Trisakti.
Ia mengungkapkan, Danpuspom kala itu Mayjen TNI Syamju Djalal atas perintah Pangab (Panglima ABRI) Jenderal Wiranto (yang ketika itu membawahi institusi Polri) mengaku, mendapat banyak kesulitan saat memeriksa anggota Brimob (Polri). Dari 12 anggota Brimob yang hadir sebanyak 10 orang dicurigai menembak 4 mahasiswa Trisakti.
"Sasaran Puspom kala itu adalah 10 anggota Brimob yang berada di jalan layang (fly over)," tutur Fadli.
Ia menambahkan, senjata yang digunakan untuk menembak mahasiswa Trisakti adalah jenis Steyer. Senjata tersebut merupakan senjata organik milik Polri. Ia menjelaskan, para pelaku sudah disidangkan dan dihukum pada 1999 silam.
"Tak banyak yang tahu bahwa pelaku adalah oknum polisi," ucap Fadli Zon.
Advertisement