Liputan6.com, Yogyakarta - Tebing terjal menjulang 250 meter dari atas permukaan laut. Balutan akar dan dedaunan pohon menghiasi dindingnya. Di sela dedaunan, ada jalan setapak yang terbuat dari tangga kayu dan menyatu dengan tumpukan bebatuan kars.
Ada 10 tangga kayu dengan 12 hingga 15 anak tangga pada masing-masingnya. Di samping tangga, terdapat potongan bulat kayu yang memanjang dan dikaitkan ke akar pohon yang dibentangkan dari atas ke bawah.
Jalan ini merupakan satu-satunya jalan menuju Gua Langse. Sebuah gua alami di tepi Samudera Hindia atau Laut Selatan, tepatnya di Dusun Gabuk, Desa Giricahyo, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Advertisement
Di gua lembap dan sepi itu, seorang nenek bernama Sakijem menetap. "(Saya sudah tinggal) Dari tahun 1968,” ucap Sakijem kepada tim Journal Liputan6.com, Senin 24 April 2017.
Mbah Kijem, demikian dia disapa, menjadikan Gua Langse sebagai rumah setelah menghadapi ujian hidup. Ibu seorang anak dan nenek tiga cucu ini diceraikan suaminya saat usia pernikahan mereka masih seumur jagung. Kala itu, dia juga masih belia.
Perceraian membuat Mbah Kijem mulai mengasingkan diri. Ia mulai mendatangi gua untuk menyepi. Sakijem pernah mendatangi Gua Cerme dan Gua Termin, di sekitar Gunungkidul, sebelum menempati Gua Langse. Di dua gua sebelumnya, Mbah Kijem mengaku tak memperoleh kenyamanan. Malah, dia mengaku, ada yang memintanya pergi ke Gua Langse.
Mbah Kijem sempat meninggalkan gua dan pergi ke Jakarta untuk menemani sang anak. Nyatanya, perempuan 67 tahun ini malah gelisah. Ia tak kuat menahan rindu untuk kembali.
Ia kembali ke gua dan menikmati rasa tenang. Perasaan ini tak lekang hingga hampir 50 tahun. Meski terkadang, dirinya hanya sendirian di sekitar gua. “Ada orang atau tidak, saya di sini,” kata Mbah Kijem.
Keputusan Mbah Kijem untuk menyendiri, sempat membuat warga setempat bertanya-tanya. Aris Sukamto, salah seorang warga Dusun Gabuk, menceritakan, dirinya sudah kerap melihat Mbah Kijem saat masih kecil. Ia sempat bertanya, apa yang membuat Sakijem menyepi di gua tersebut.
Menurut Aris, tak banyak orang yang kuat menyendiri di Gua Langse. Jauh dari mana-mana, Aris menyebut, Gua Langse biasanya hanya disambangi mereka yang hendak menyelami spiritualitas.
Sikap ini membuat Aris dan warga di Dusun Gabuk, takjub. Warga Dusun Gabuk tak pernah mau dan kuat berdiam di sekitar Gua Langse. “Meski cuma satu hari,” ucap lelaki 61 tahun ini.
Kemudian muncul dugaan, Sakijem mengalami gangguan jiwa.
Pilihan menyendiri ini rupanya tak berkaitan dengan gangguan psikologis. Setidaknya terlihat dari sikap Mbah Kijem yang tetap berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain.
Nilam Widyarini, psikolog lulusan Universitas Gadjah Mada, menyebut, kemauan Mbah Kijem untuk berkomunikasi menandakan dia masih sehat secara mental. Jalan kesendirian yang dipilihnya, kata Nilam, bukan lantaran ada tekanan psikologis. “Mbah Kijem menarik diri untuk memahami dirinya sendiri,” ucap Nilam.
Gua Langse, Tempat Tinggal dan Spiritual
Akar-akar pohon menjadi pegangan saat Sakijem menapaki jalan menuju Gua Langse. Kala itu, jalan belum seperti saat ini. Lereng curam dengan bebatuan dan tanah licin menjadi jalan satu-satunya. Demikian secuplik ingatan Sakijem saat pertama kali menginjakkan kaki di Gua Langse.
Sakijem tak ingat betul kapan dirinya datang pertama kali ke Gua Langse. “Dulu masih SR,” kata Sakijem. SR itu sekolah rakyat -- setingkat SD sekarang.
Tahun pun berselang setelah kedatangan pertama. Mbah Kijem kembali datang ke gua tersebut setelah perceraiannya. Kali ini, dia menetap. Dia butuh kekuatan lebih supaya bisa tenang dan selaras menghadapi semua persoalan yang datang.
Cara menyelaraskan diri ini lazim terjadi di berbagai tempat. Umumnya, cara ini disebut dengan laku spiritualisme. Dalam konteks kebudayaan Jawa, spiritualisme punya arti penting. Prapto Yuwono, ahli kebudayaan Jawa dari Universitas Indonesia, menjelaskan, tradisi spiritualisme Jawa lekat dengan makro dan mikrokosmos.
Manusia yang menjadi bagian alam duniawi dicitrakan sebagai bagian dimensi mikro. Sedangkan wilayah supranatural mencitrakan dimensi makro. Pemahaman ini, kata Prapto, begitu dipahami seluruh manusia Jawa. “Menurut orang Jawa, kedua dunia ini saling berhubungan,” kata Prapto.
Dalam spiritualitas Jawa ini, Prapto Yuwono mengatakan, manusia berperan penting. Sebab, spiritualitas hanya dilakoni manusia sebagai makhluk berakal di dunia fisik. “Ada ungkapan Hamemayu Hayuning Bawono artinya manusialah yang harus menjaga keselamatan dunia, baik atas maupun bawah,” kata Prapto.
Sikap seperti ini yang coba dijalankan Sakijem. Perjalanan menuju Gua Langse sedikit memberi gambaran. Jalan terjal setinggi 250 meter, bebatuan kars, tangga kayu, akar-akar pohon dan kemiringan tebing menjadi saksi, Sakijem punya kekokohan niat menjalani spiritualitas di dalam gua.
Masyarakat setempat percaya, Gua Langse merupakan gua keramat. Gua ini menjadi tempat melakoni laku spiritual, dengan segala macam bentuknya. Tak pelak, gua ini kadang menjadi tempat semedi, pemujaan, bahkan permintaan sejumlah warga.
Gua tersebut cukup luas. Mulut gua punya lebar lebih kurang 5 hingga 10 meter dan panjang 15 meter. Sementara kedalaman gua sekitar 10 meter dan menjorok ke bawah. Di dalam gua, masih ada jalan kecil sepanjang 3 kilometer. “Kalau yang bertapa, tempatnya di sana,” kata Mbah Kijem.
Ketenaran Gua Langse sebagai tempat melakoni jalan spiritual diakui Bambang H. Lelaki asal Surakarta, Jawa Tengah, ini mengakui, dirinya kerap datang ke Gua Langse, sejak 1975. Sejak saat itu pula, Bambang sering bertemu Sakijem.
Menurut Bambang, dirinya tak pernah punya waktu pasti untuk datang. Terkadang, dia berangkat dini hari. Apalagi, kata dia, saat dirinya punya keperluan dan sedang menghadapi sejumlah masalah, bersemedi atau tirakat di Gua Langse dianggap menjadi solusi lantaran kerap membawa hasil.
“Dan kebetulan, apa yang saya pikirkan terkabul,” ucap Bambang.
Advertisement
‘Melayani’ Ratu Kidul
Spiritualitas yang dijalani Mbah Kijem sejatinya tak bisa dilepaskan dari konsep kebatinan masyarakat Jawa. Tak mudah buat mendefinisikan atau melakoni tradisi ini. Apalagi, mendefinisikannya dalam konsep kebudayaan materialisme modern.
Prapto Yuwono mengatakan, sikap Mbah Kijem menjelaskan secuplik hubungan yang sangat erat antara dunia atas-bawah. Konsep dunia atas dan bawah ini sudah mengakar dalam kebudayaan Jawa, untuk membedakan dunia fisik dan nonfisik. Hubungan ini, kata Prapto, tak tercipta begitu saja. Ada proses panjang yang membangunnya.
“Dalam hal ini, diperlukan kepekaan jiwa atau kepekaan rasa,” kata Prapto.
Dalam praktiknya, kebatinan ini berorientasi kepada dunia astral atau dunia nonfisik seperti jin dan makhluk halus lain. Dalam hal ini, sosok Ratu Kidul atau Roro Kidul. Pemahaman tentang Ratu Kidul sudah muncul seiring perjalanan kebudayaan Jawa, berabad-abad silam.
Dalam Babad Tanah Jawi, Ratu Kidul dituliskan sebagai pemberi restu buat Panembahan Senopati untuk mendirikan Mataram Babad juga menjelaskan, Ratu Kidul merupakan penguasa seluruh makhluk halus di se-antero Pulau Jawa. Pemahaman ini mengakar dalam benak manusia Jawa.
“Ratu Kidul bertugas menjaga tatanan dunia supranatural orang Jawa. Dalam dunia supranatural Jawa, Ratu Kidul dianggap sebagai penguasa tertinggi kekuatan supranatural Nusantara,” ucap Prapto.
Pada Ratu Kidul, Sakijem memfokuskan seluruh orientasi kebatinan dan spiritualitasnya. Cerita perjalanan dan rasa kerasan Mbah Kijem selama di Gua Langse sejatinya bumbu dalam proses spiritual yang dia jalani.
Lewat jalan spiritualitas ini, Sakijem tak berharap banyak. Ia hanya punya satu keinginan. Keinginan ini yang membuatnya rela bertahan meski harus menerima konsekuensi menyepi setengah abad di Gua Laut Selatan. “Meminta kesehatan untuk anak-cucu saya, biar anak-cucu saya yang sekolah bisa pintar. Cuma itu saja,” ujarnya.
Nyatanya, kehidupan Mbah Kijem tak sebatas menyelami spiritualitas, Mbah Kijem juga menjadikan Gua Langse sebagai tempat beraktivitas seperti warga desa pada umumnya. Dia memasak, mencuci, dan bersosialisasi dengan pengunjung yang datang. Tak jarang, Mbah Kijem malah begadang karena harus memasak buat tamu.
Sesekali Mbah Kijem juga pergi ke pasar. Ini dia lakukan jika stok bahan makanan atau keperluan lain selama di gua, sudah mulai berkurang. Ia pun harus memanjat tebing dan menyusuri jalan terjal untuk pergi ke pasar.
Bahan makanan atau bahan keperluan ini kemudian dia angkut sendiri dengan keranjang di kepala dan dia bawa turun kembali ke Gua Langse.
Selama di Gua Langse ini, Mbak Kijem hidup dari uang pemberian pengunjung gua. "Tapi saya enggak pernah memaksa," ucap Mbah Kijem. Ada yang memberi Rp 100 ribu, ada yang Rp 200 ribu.
Uang tersebut kemudian dibelikan bahan makanan untuk kebutuhan selama di dalam gua. Bahan makanan tersebut terkadang dimasak juga untuk pengunjung. Uniknya, Mbah Kijem terkadang memberikan sisa uang pemberian dari pengunjung gua kepada pengunjung lain yang kekurangan bekal.
Selama hampir 24 jam, tim Journal berada di Gua Langse. Saatnya pamit. Mbak Kijem memandangi Bambang, anjing peliharaan yang menemani kesendiriannya.