Liputan6.com, Jakarta Dibanding Indonesia, jumlah pekerja migran Filipinan lebih sedikit. Namun, tiap tahunnya, negara jiran tersebut tahun lalu menerima remitansi dari buruh migran hingga Rp 320 triliun. Sementara pada tahun yang sama, remitansi yang masuk ke Indonesia hanya Rp 119 triliun.
Menurut Koordinator Peduli Buruh Migran, Lily Jatmiko, dalam mengurusi buruh migran, Filipina menggunakan pendekatan ekonomi. Sehingga pekerja migran memberi kontribusi lebih bagi perekonomian nasional negara tersebut. Karena itulah, bagaimana caranya kompetensi buruh migran ditingkatkan, sehingga gajinya tinggi. Remitansi yang masuk juga tinggi. Karena sebagai subyek yang menguntungkan, pemerintah juga serius memberikan perlindungan.
Baca Juga
“Kenapa Indonesia tak meniru Filipina? Tiru lalu disempurnakan sesuai dengan kondisi Indonesia,” kata Lily, Selasa, 16 Mei 2016.
Advertisement
Lily yang juga pernah menjadi pekerja migran di Taiwan ini mengatakan, sebenarnya pekerja migran asal Indonesia dikenal rajin, hanya saja lemah dalam penguasaan bahasa. Sementara pekerja migran asal Filipina menguasai bahasa Inggris dan Mandarin. Dari sisi perlindungan, pekerja migran Filipina terkoneksi dalam sebuah system informasi ketenagakerjaan. Sehingga keberadaan dan kondisinya terpantau dengan baik dari negaranya.
“Mungkin tidak serta merta bisa meniru Filipina, karena masalah pekerja migran di Indonesia cukup komplek. Namun yang pokok harus dicontoh adalah seluruh urusan pekerja migran Filipina dibawah satu pintu koordinasi, yakni Kementerian Perburuhan disana. Tidak ada dualisme kewenangan lembaga yang ngurus pekerja migran", tambahnya.
Sebelummnya, Menteri Ketenagakerjaan Indonesia, M Hanif Dhakiri juga menyinggung perlunya perbaikan tata kelola pekerja migran. “Kalau Filipina bisa, kenapa Indonesia tidak,” ujar menteri saat memberikan keynote speaker pada diskusi Urun Rembuk Perbaikan Sistem Perlindungan TKI di Jakarta, kemarin.
Menaker mengungkapkan, Filipinan mempunyai 37 atase ketenagakerjaan di negara-negara tempat pekerja migrannya tinggi. Sementara Indonesia hanya memiliki empat atase ketenagakerjaan, yakni di Malaysia, Arab Saudi (Riyadh), Kuwait dan Uni Emirat Arab. Padahal, pekerja migran Indonesia tersebar di puluhan negara. Minimnya atase mempersulit negara melakukan perindungan terhadap buruh migran yang tersandung masalah. “Saat ini pemerintah sedang menyiapkan penambahan atase ketenagakerjaan di negara-negara yang banyak menerima pekerja migran Indonesia,” kata Menaker.
Menteri Hanif juga menambahkan, di Indonesia, isu ketenagakerjaan termasuk pekerja migran masih disikapi secara residual. Misalnya, pekerja migran belum dianggap sebagai sesuatu yang menguntungkan. Padahal mereka menghasilkan pemasukan negara dari remitansi TKI melebihi dari beberapa sektor lain. Agar tidak sekadar residual, harus ada peningkatan kapasitas calon buruh migran, memperkuat perlindungan dan sebagainya.
Anggaran untuk peningkatan kompetensi buruh migran masih sangat kecil. Perlindungan juga masih lemah. Saat jelas-jelas keselamatan TKI sektor informal di negara Timur Tengah terancam, sehingga pemerintah menghentikan pengiriman, beberapa pihak mengecam kebijakan tersebut dengan alasan melanggar hak orang untuk bekerja.
Oleh karenanya ia mengajak semua pihak untuk mendukung perbaikan tatakelola buruh migran Indonesia, mulai sebelum, saat dan purna menjadi pekerja migran. Pemerintah terus memperbaiki kompetensi mereka. Sebagai perlindungan, akan menambah jumlah atase ketenagakerjaan. Serta menyiapkan serangkaian program untuk para purna buruh migran.
(*)