Liputan6.com, Jakarta - Kasus penodaan agama yang berujung pada penahanan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok telah menjadi perhatian dunia. Tak terkecuali Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Hasan Kleib, Wakil tetap Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Internasional yang berbasis di Jenewa, Swiss, mengungkapkan, beberapa negara di Dewan HAM PBB meminta agar Indonesia menghapus pasal penodaan agama.
Menurut Hasan, rekomendasi itu muncul saat Indonesia menyampaikan laporan perkembangan HAM dalam negeri pada Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB di Swiss, 3 hingga 5 Mei 2017 lalu.
Advertisement
"Ada permintaan supaya menghapus intoleransi dan menghapus undang-undang seperti penodaan agama. Ada yang minta satu (negara) dan ini direkomendasikan," ucap Hasan sebelum rapat hasil rekomendasi UPR di Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Kamis (18/5/2017).
Dia menuturkan, negara-negara tersebut tidak hanya menyoroti
pasal penodaan agama, tapi juga kebebasan beragama di Indonesia. Menurut dia, hal ini berkaitan dengan perkembangan Indonesia terakhir.
"Ada shadow report atau laporan bayangan dari NGO kita dan UN agency (menyoroti kebebasan beragama). Jadi memberikan rekomendasi di sini. Kebanyakan dari Afrika dan Amerika Latin," jelas Hasan.
Meski demikian, rekomendasi-rekomendasi dari negara-negara tersebut akan dikaji lagi. Menurut dia, hal ini harus dibahas dengan kementerian dan lembaga di Indonesia.
Indonesia telah menerima 225 rekomendasi dari 103 negara. Dari 225 rekomendasi itu, 150 telah diterima dan 75 rekomendasi lainnya dikonsultasikan dengan pemangku kepentingan terkait.
Rekomendasi tersebut secara umum membahas tentang ratifikasi instrumen HAM internasional, kerja sama dengan mekanisme HAM PBB, penghapusan hukuman mati, orientasi seksual, dan toleransi agama.
Sebelumnya, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menolak wacana penghapusan pasal penodaan agama. Menurut dia, jika tidak punya dasar hukum itu, masyarakat bisa main hakim sendiri.
"Masyarakat diminta untuk menyelesaikan sendiri masalah itu. Main hakim sendiri, itu jauh lebih berbahaya," jelas Lukman.
Â