Liputan6.com, Jakarta - Musik klasik kerap disebut musik kalangan elite. Label ini terbentuk lantaran musik klasik berasal dari peradaban Eropa, yang konon punya cita rasa tinggi dalam masalah seni. Tak heran, musik klasik menjadi barang asing bagi telinga sebagian orang. Terutama, buat kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Fenomena ini pun terjadi di Indonesia. Apresiasi terhadap karya Beethoven, Bach, atau Mozart hanya terjadi di segelintir orang. Umumnya, di kalangan ekonomi menengah ke atas atau agama tertentu. Tak heran, jika kemudian Bethovens 5th Simpony, Moonligth Sonata, Allergo atau Bouree, asing di telinga.
Baca Juga
Kondisi ini rupanya menjadi soal buat Ananda Sukarlan. Pianis Indonesia yang banyak mendapat penghargaan dari mancanegara dan composer Rapsodia Nusantara ini merasa, ada yang janggal. “Musik klasik itu menjadi semacam status simbol. Musik klasik menjadi sesuatu yang sangat barat seperti halnya tas yang sangat mahal,” ujar Ananda.
Advertisement
Ananda menyakini, musik bersifat universal. Iramanya bukan milik segelintir orang. Melainkan semua kalangan. Sehingga, musik harus bisa dinikmati siapa pun, tanpa terkecuali.
Ibarat Indonesia yang punya bermacam suku, musik klasik punya beribu chord. Bagi Ananda, keduanya sama. Sama-sama memiliki keragaman. Kredo ini dibuktikan Ananda. Musik klasik tak melulu soal karya komponis berkelas dunia. Musik klasik juga bisa dimainkan dengan sedikit mengulik musik lokal. Kredo ini berwujud lewat Rapsodia Nusantara.
Rapsodia berasal dari kata Rhapsoidos dalam bahasa Yunani. Istilah Rapsodia pertama kali digunakan Pianis Hungaria bernama Franz Liszt, lewat karya Hungarian Rhapsodys. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Rapsodia diartikan sebagai lagu yang merupakan jalinan musik yang telah ada.
Pada Rabu 12 April 2017, Ananda Sukarlan menerima kedatangan Liputan6.com untuk wawancara khusus. Saat Liputan6.com tiba di kantornya, Ananda Sukarlan Center for Musik and Dance, Jalan R.S. Fatmawati, Jakarta Selatan, Ananda sedang berbincang santai dengan stafnya.
Rapsodia Nusantara
Kenapa Anda membuat komposisi bernama Rapsodia Nusantara?
Saya membuat ini justru karena banyak orang yang suka musik klasik membuat musik ini menjadi semacam status simbol. Musik klasik lalu menjadi sesuatu yang sangat barat seperti tas dan sepatu mahal. Orang masih pretensius artinya masih berpura-pura. Karena merasa intelek, jadi doyannya musik klasik dan musik klasiknya harus dari Eropa.
Memang harusnya seperti apa?
Menurut saya, justru musik klasik ini bisa kita ambil esensi dan tekniknya. Teknik barat dengan instrumen Eropa, tapi materialnya Indonesia. Seperti Rapsodia Nusantara ini atau lagu-lagu yang berdasarkan kebudayaan Indonesia.
Sesungguhnya apa sih Rapsodia Nusantara ini?
Rapsodia Nusantara itu merupakan komposisi musik klasik yang berdasarkan lagu-lagu etnis Indonesia. Misalnya lagu Rek Ayo Rek yang dibikin menjadi polyphonic.
Idenya dari mana?
Ide Rapsodia ini dari seorang komponis Hungaria abad 19 bernama Franz Liszt, yang membuat Hungarian Rhapsody. Dia bikin karya yang virtuoso, show piano berdasarkan lagu rakyat Hungaria. Gara-gara dengar itu, saya pikir kenapa kita tidak bikin versi Indonesia. Karena Indonesia jauh lebih kaya lagu daerah dan lagu etnisnya.
Jadi saya pikir oke, saya bikin Rapsodia Nusantara dan saya ingin se-Indonesia mungkin. Judulnya harus Indonesia, enggak bisa diterjemahkan jadi Indonesian Rhapsody. Rapsodianya pun jangan ‘Rhap’ tapi Rap.
Rapsodia Nusantara ini tawaran?
Kita bisa akui bahwa yang belajar piano (musik klasik) itu kebanyakan dari kota besar dan dari keluarga yang menengah ke atas. Mereka yang dari kota besar itu justru sudah tidak mengerti lagi lagu daerah.
Itu kan saya banget, apalagi mereka belajar musik Beethoven atau Mozart. Rapsodia ini jadi salah satu material yang saya tawarkan kepada mereka. Ini lho ada musik yang berdasarkan budaya kita sendiri.
Berapa banyak Rapsodia yang ingin Anda buat?
Setelah beberapa nomor, saya bertemu dengan Pak Habibie. Beliau bilang “Kamu sekarang fokusnya 1 provinsi, 1 Rapsodia.” Saya pikir benar juga. Karena Rapsodia nomor 2 dan nomor 3 itu, dua-duanya dari Maluku. Jadi saya sih inginnya bikin paling tidak, 34 nomor. Karena kita ada 34 provinsi.
Apresiasi Rapsodia
Apresiasinya bagaimana?
Saya sangat terharu karena sambutannya sangat luar biasa, terutama dari para musikus luar negeri. Penonton juga pengen sesuatu yang baru dan ini buat mereka sesuatu yang baru.
Apa sebenarnya yang ingin Anda sampaikan dengan Rapsodia ini?
Moga-moga sih ini bisa jadi kontribusi saya yang sedikit untuk bangsa kita. Rapsodia Nusantara ini menunjukkan setiap Rapsodia itu berbeda. Musik dari satu daerah itu tangga nadanya berbeda, harmoninya berbeda, cara bikin melodinya berbeda. Tapi semua itu bisa berkontribusi pada satu karya seni.
Kita tidak bisa bilang lagu ini lebih jelek, atau lagu ini nanti yang nyanyi masuk surga atau enggak. Semua ini seragam, tapi keseragamannya dalam keberagamannya.
Dulu, kenapa Anda tertarik bermain musik?
Bermain musik itu adalah berekspresi. Musik juga mengekspresikan hal-hal yang sangat dalam, yang mungkin terlalu dalam untuk bisa diekspresikan dengan kata-kata.
Kenapa memilih musik klasik?
Teknik musik klasik itu banyak dan bervariasi. Segala macam tangga nada itu ada. Misalnya kalau kita memainkan Mozart, walau pun kelihatannya gampang, itu kita mesti main tangga nada. Sedangkan kalau musik pop tekniknya cukup simple.
Memang apa gunanya teknik?
Teknik itu berguna terus. Kalau misalnya mau pindah aliran ke jenis musik yang lain, seperti yaitu musik pop, itu gampang saja.
Pop juga membutuhkan teknik, apa yang membedakan?
Musik klasik ini musik yang tertulis. Saya menyebutnya musik sastra. Kalau musik pop itu tidak tertulis. Perbedaan yang paling esensial, menurut saya, ada dua. Pertama, tentang perpindahan chord. Kedua, tentang polyphony. Ini juga tidak terlalu ada di musik pop.
Musik Klasik Indonesia
Bagaimana kondisi dunia musik klasik Indonesia, sekarang?
Perkembangan musik ini di Indonesia sekarang sih sangat pesat. Dan sebenarnya, jauh lebih pesat dari pada Eropa. Kita lihat saja di beberapa kota di Indonesia. Setiap ada kompetisi piano, begitu kompetisinya kelar, sekolah musik langsung diserbu orang tua murid dan anak-anak.
Berarti perkembangannya bagus?
Dari segi kuantitas sih kita sudah banyak sekali.
Kalau kualitasnya?
Sekarang tentu saja yang kita butuhkan adalah kualitas. Kita lihat banyak pianis muda itu, termasuk yang sangat muda, skill-nya sudah luar biasa. Tapi sampai sekarang baru sedikit sekali yang bisa terus tahan bermain piano.
Kenapa bisa begitu?
Keterampilan dan kematangan bermusik itu kan butuh waktu bertahun-tahun, dan sebenarnya juga butuh kematangan kepribadian. Masih banyak yang berpikir bahwa main piano (musik klasik) buat sekadar pamer.
Ini menjadi masalah?
Sebenarnya main musik lebih dari itu. Nantinya, (keahlian bermain musik) itu bisa menjadi satu profesi. Profesi seperti profesi lain, punya tanggung jawab, ada risiko. Jadi artinya memang tidak mudah.
Setelah Rapsodia Nusantara, apa yang ingin Anda bikin?
Saya ingin lebih konsentrasi ke komposisi bikin Rapsodia Nusantara dan bikin variasi, fantasi segala macam dari lagu anak-anak. Seperti lagu Desaku, karena kalau mendengar lagu Desaku di Eropa, kita bisa menitikkan air mata.