Liputan6.com, Jakarta: Peraturan Bersama Menteri (PBM) tentang kerukunan beragama dinilai perlu ditingkatkan menjadi undang-undang (UU) sehingga memiliki kekuatan hukum tetap, bukannya dicabut. "Pencabutan PBM tidak menyelesaikan masalah, bahkan perlu ditingkatkan menjadi undang-undang," kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan di Jakarta, Kamis, (16/9).
Tuntutan sejumlah pihak untuk mencabut PBM Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama muncul menyusul kasus penganiayaan anggota jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah, Bekasi pada Ahad (12/9). PBM Nomor 8 dan 9 tahun 2006 Tentang Kerukunan dan Keharmonisan Antar Umat Beragama, menurut Amidhan, bukan semata dikeluarkan pemerintah tapi merupakan hasil kesepakatan majelis seluruh agama di Indonesia.
Menurut Amidhan, jika PBM Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang sebelumnya sudah disosialisasikan selama setahun itu dicabut maka akan menimbulkan konflik sosial. Hal senada dikatakan Sekjen Eksekutif Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Romo Benny Susetyo, bahwa PBM dua menteri tidak perlu dicabut tapi direvisi sehingga pejabat daerah yang tidak melaksanakannya mendapat sanksi.
"Sebenarnya dalam pasal 13 dan pasal 14 PBM, syarat mendirikan rumah ibadah sangat mudah bahkan ada mekanisme izin sementara. Tapi karena tidak ada sanksi yang tegas maka tidak dilaksanakan sesuai ketentuan," kata Benny. Dalam PBM disyaratkan untuk membangun rumah ibadah di suatu tempat harus melampirkan 90 KTP pemeluk agama tersebut dan mendapat dukungan dari 60 orang dewasa dilingkungan sekitar.
Terkait kasus penganiayaan jemaat HKBP di Bekasi, Romo Benny menilai tidak ada kaitannya dengan agama, maka pemerintah terutama aparat penegak hukum harus bertindak tegas. Kasus tersebut dikatakan Benny muncul akibat belum optimalnya peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) melaksanakan tugasnya sebab kurangnya dukungan pemerintah.(Ant/AYB)
Tuntutan sejumlah pihak untuk mencabut PBM Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama muncul menyusul kasus penganiayaan anggota jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah, Bekasi pada Ahad (12/9). PBM Nomor 8 dan 9 tahun 2006 Tentang Kerukunan dan Keharmonisan Antar Umat Beragama, menurut Amidhan, bukan semata dikeluarkan pemerintah tapi merupakan hasil kesepakatan majelis seluruh agama di Indonesia.
Menurut Amidhan, jika PBM Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang sebelumnya sudah disosialisasikan selama setahun itu dicabut maka akan menimbulkan konflik sosial. Hal senada dikatakan Sekjen Eksekutif Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Romo Benny Susetyo, bahwa PBM dua menteri tidak perlu dicabut tapi direvisi sehingga pejabat daerah yang tidak melaksanakannya mendapat sanksi.
"Sebenarnya dalam pasal 13 dan pasal 14 PBM, syarat mendirikan rumah ibadah sangat mudah bahkan ada mekanisme izin sementara. Tapi karena tidak ada sanksi yang tegas maka tidak dilaksanakan sesuai ketentuan," kata Benny. Dalam PBM disyaratkan untuk membangun rumah ibadah di suatu tempat harus melampirkan 90 KTP pemeluk agama tersebut dan mendapat dukungan dari 60 orang dewasa dilingkungan sekitar.
Terkait kasus penganiayaan jemaat HKBP di Bekasi, Romo Benny menilai tidak ada kaitannya dengan agama, maka pemerintah terutama aparat penegak hukum harus bertindak tegas. Kasus tersebut dikatakan Benny muncul akibat belum optimalnya peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) melaksanakan tugasnya sebab kurangnya dukungan pemerintah.(Ant/AYB)