Sukses

KPK: Peradilan Koneksitas Kasus Heli AW 101 Tergantung MA

KPK sedang menyelidiki PT Diratama tapi belum menetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan heli AW 101.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, pengadilan koneksitas antara militer dan sipil untuk mengadili kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan helikopter militer AgustaWestland (AW) 101 ditentukan Mahkamah Agung (MA).

"Pengadilan koneksitas kan prosesnya membutuhkan waktu lama, mekanismenya bersama itu misalnya salah satu hakimnya dari militer, penuntutnya juga selain jaksa kita ada oditur militer tapi itu kan tidak mudah, lama, jadi keputusannya itu mungkin juga dari Mahkamah Agung," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di Jakarta, Selasa, 30 Mei 2017.

Dalam kasus ini, Polisi Militer (POM) TNI sudah menetapkan tiga tersangka yaitu Marsekal Madya TNI FA (Fachri Adamy) yang bertugas sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa. Lalu, Letkol administrasi BW selaku pejabat pemegang kas atau pekas dan Pelda (Pembantu letnan dua) SS staf pekas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan helikopter militer AW-101.

Total anggaran pengadaan heli AW-101 adalah Rp 738 miliar yang masuk dalam APBN 2016 dengan nilai kerugian negara sekitar Rp 220 miliar. Modus yang dilakukan adalah dengan melakukan "mark up".

Penyidik POM TNI juga sudah memblokir rekening sebesar Rp 139 miliar atas nama PT Diratama Jaya Mandiri selaku penyedia barang. KPK sedang menyelidiki PT Diratama tapi belum menetapkan tersangka dalam kasus ini.

"Tidak bisa kita langsung menentukan untuk melakukan pengadilan koneksitas, yang paling cepat begini ini," ujar Agus, seperti dilansir Antara.

Namun Agus mengakui KPK pun menginginkan pengadilan koneksitas. "KPK ingin saja, dan sudah pernah ada kalau tidak salah waktu itu menangani kasus heli MI-17," tambah Agus.

2 dari 2 halaman

Korupsi Heli M-17

Persidangan korupsi pengadaan heli M-17 dilakukan pada 2007 lalu dengan empat terdakwa (yang saat ini sudah menjadi narapidana) yaitu Brigjen Pol. (Purn) Prihandono yang merupakan perwira polisi. Karena melibatkan perwira polisi, persidangan dilaksanakan secara koneksitas dengan menghadirkan Letkol. CHK Anton Saragih sebagai hakim dari unsur militer. Tiga lain adalah mantan Kepala Pusat Keuangan Departemen Pertahanan Tardjani, mantan Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara Khusus Jakarta VI Mardjono dan Kuasa Hukum Swift Air Industrial Supply Pte Ltd Andy Kosasih.

Majelis hakim menjatuhkan vonis empat tahun penjara kepada tiga terdakwa yaitu mantan Direktur Pelaksanaan anggaran Dirjen Perencanaan Sistem Pertahanan Departemen Pertanahan, Brigjen (Purn) Prihandono, mantan Kepala Pusat Keuangan Dephan Tardjani, dan mantan Kepala Kantor Perbendaharaan Kas Negara (KPKN) IV, Mardjono. Sedangkan satu terdakwa lain, rekanan pengadaan Andy Kosasih, yang berperan sebagai perwakilan Swift Air dan Industrial Supply di Jakarta, divonis tujuh tahun penjara.

Peradilan koneksitas menangani kasus pidana yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada kekuasaan peradilan umum dan militer. Proses penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh tim yang terdiri atas jaksa, polisi militer, dan oditur militer.

Proses pemeriksaan di pengadilan dilakukan lima hakim yang berasal dari unsur hakim peradilan umum dan peradilan militer. Jika kasus korupsi tersebut dilakukan bersama orang sipil, seperti yang terjadi pada kasus AW101, KPK masih berwenang meski terbatas dan tidak langsung.

Kewenangan terbatas KPK dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI tercantum dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Pasal itu berisi "Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum".