Sukses

Pancasila, di Antara Curhat Afi Nihaya dan Pembubaran HTI

Pancasila belum ditempatkan sesuai kondisi zaman. Akibatnya, ada kesenjangan dalam memahami Pancasila bagi anak muda.

Liputan6.com, Jakarta - Afi Nihaya Faradisa menuliskan kegelisahan di Facebook. Dari pelosok Banyuwangi, Jawa Timur, curahan pikiran dengan judul "Warisan" itu menyebar luas, menyentak banyak orang.

Siswa kelas 2 SMA itu menyoroti menguatnya intoleransi. Afi merasa, konflik horizontal bisa pecah sewaktu-waktu karena intoleransi. "Saya melihat hal itu di media sosial maupun di dunia nyata," kata Afi kepada Journal Liputan6.com, Minggu 21 Mei 2017.

Ia mengaku jengah dengan semua bentuk intoleransi yang terpampang di media sosial, dalam teks atau video, yang mengandung unsur kebencian pada kelompok lain. Dalam pengamatan Afi, ada benih-benih ekstremisme yang bisa merongrong persatuan bangsa.

Karena tulisan itu, Afi diteror dan diintimidasi. Itu justru membuktikan bahwa kecemasannya memang beralasan: ada cukup banyak orang yang sulit menerima perbedaan

Toleransi memang menjadi tema panas sejak beberapa bulan terakhir. Tema ini menyeruak dan menyesaki ruang-ruang sosial masyarakat Indonesia, menjadi bahan diskusi yang tak habis dibahas.

Pokok masalah yang melatari tak lepas dari dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama.

Pertikaian meluas, jauh melampaui batas kewilayahan Jakarta. Termasuk, ke Banyuwangi. "Teman saya sekolah sampai musuhan karena yang satu milih Pak Anies, yang lain ke Pak Ahok," ujar Afi. Padahal, mereka tidak mencoblos. KTP saja belum punya. 

Intoleransi, yang diprihatinkan Afi, juga terekam dalam hasil studi Setara Institute pada 2016.

Pada survei tersebut, 69,6% (sekitar 529) dari 760 responden menilai, peribadahan agama lain tidak benar. Pemahaman ini berbanding lurus dengan kecenderungan memudarnya penerimaan generasi muda terhadap nilai Pancasila.

Panggung kecil di Gedung Pancasila, yang digunakan Bung Karno menyampaikan gagasan Pancasila (Liputan6.com/Mochamad Khadafi)

Pada 2015, Setara Institute menemukan, 8,5% dari 684 responden menyetujui ideologi Pancasila digantikan dengan ideologi agama. Setahun kemudian, angka responden yang menyetujui pergantian Pancasila, meningkat menjadi 11,3% dari 760 responden. Para responden adalah siswa sekolah menengah atas di Jakarta dan Bandung.

Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani, mengatakan temuan tersebut menunjukkan adanya pengabaian terhadap nilai-nilai Pancasila di kalangan anak muda. Pengabaian ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan,  tren tersebut tak hanya terjadi di kota besar, melainkan juga ke pelosok daerah.

“Ini masih terus meningkat sejak reformasi sampai sekarang,” tutur Ismail.

Fenomena menguatnya intoleransi dan diabaikannya Pancasila sebenarnya tak muncul begitu saja. Sosiolog politik Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet, mengatakan, fenomena tersebut merupakan paradoks berdemokrasi.

Lelaki yang karib disapa Robet ini menyebut, abai atau tidaknya masyarakat terhadap Pancasila disebabkan Pancasila belum ditempatkan sesuai zaman. Pancasila menjadi hal yang tak dikenal secara baik.

"Anak muda sekarang itu generasi yang hidup dengan keterbukaan informasi. Tentu cara dia memahami Pancasila juga sesuai dengan semangat zamannya," ucap Robet.

Massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tampak mengibarkan bendera saat Rapat dan Pawai Akbar (RPA) 2015 bertema "Bersama Umat Tegakkan Khilafah" di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (30/5). (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Kesenjangan ini tanpa disadari menjadi celah buat ideologi di luar Pancasila, untuk memainkan peran. Hizbut Tahrir, contohnya. Organisasi bentukan Taqiyuddin An-Nabhani ini sukses meraih banyak pendukung dari kalangan anak muda Indonesia.

Salah seorang aktivis Hizbut Tahrir Indonesia, Bimma Dwi Nugraha, menyatakan ideologi Pancasila bukanlah falsafah terbaik untuk bangsa Indonesia saat ini. Ketua Lajnah Mahasiswa HTI Depok mengatakan, bangsa Indonesia seharusnya mampu menggali dasar negara dari hukum agama.

“Bisa jadi, Pancasila adalah langkah terbaik, konsensus, pada masanya. Sekarang masa sudah berbeda. Mari kita duduk bersama, siapa tahu ada konsep yang lebih baik. Menurut kami, peraturan harus digali dari hukum Islam,” kata lelaki kelahiran 1991 ini saat diwawancarai di Depok, Jawa Barat.

 

2 dari 3 halaman

Pancasila dan Dosa Masa Lalu

Kesenjangan pemahaman terhadap Pancasila tampaknya menjadi masalah serius yang tak bisa diabaikan begitu saja. Celah pemahaman ini bukan tanpa alasan hadir di benak warga, khususnya generasi muda. Negara disebut berperan membikin Pancasila menjadi ideologi yang berjarak dari warganya.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Pancasila, Universitas Pancasila, Yudi Latif, mengatakan, masalah ini tak bisa dilepaskan dari politisasi terhadap Pancasila yang dilakukan Orde Baru selama 32 tahun. Kala itu, Pancasila menjadi ideologi bangsa yang dijalankan dengan cara top down.

Seiring Orde Baru berganti, kata Yudi, Pancasila dianggap sebagai warisan rezim. Terlebih, kata Yudi, masyarakat Indonesia selalu beranggapan dan punya kecenderungan untuk menilai seluruh warisan rezim silam harus ditinggalkan. "Pancasila dianggap tidak menyimpan sisa-sisa kebaikan," ucap Yudi.

Di sinilah akar masalahnya. Menurut Yudi, Pancasila mengalami proses politisasi. Politisasi Pancasila tampak jelas saat negara terlalu mengambil inisiatif untuk menatar sampai menafsirkan ideologi tersebut. Ini menjadikan Pancasila sebagai alat politik negara. "Ketika reformasi, Pancasila ditinggalkan," ucap Yudi.

 

Patung Garuda Pancasila Terbesar di Indonesia berada di Monumen Pancasila Sakti (Liputan6.com/Balgoraszky Arsitide Marbun) 

Akar masalah ini tanpa disadari berkelindan dengan polemik lain yang sudah lama membayangi Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Robertus Robet mengatakan, polemik tersebut, yakni kehendak untuk mencari ideologi lain di luar Pancasila.

Ideologi yang dimaksud tak lain ideologi berbasis agama. Dalam perkembangan politik, kata Robet, ideologi tersebut tumbuh subur di belahan dunia. Pertumbuhan ideologi ini tak bisa dilepaskan dari perkembangan peta politik global, yang mendorong aspirasi negara agama muncul ke permukaan.

Menurut Robet, aspirasi ini tak lantas mati. Meski, Indonesia sudah menetapkan Pancasila sebagai ideologi kebangsaan sekaligus kesepakatan umum yang berlaku nasional. "Karena ide itu tak mungkin untuk dimatikan," ucap Robet.

Situasi inilah yang kemudian dimanfaatkan kelompok berpandangan ekstrem. Dengan mimpi membangun negara berbasis agama tak pernah mati dan adanya celah pemahaman, kelompok tersebut merangsek ke sejumlah aparatus institusi negara.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Anas Saidi, mengatakan paham tersebut biasanya disalurkan melalui doktrin agama dan cenderung menyasar ke sekolah atau kampus. Paham yang ditanamkan pun lebih bersifat skripturalis, hanya dengan memahami agama dari teks tertulis.

Ribuan jamaah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang didominasi pakaian berwarna putih itu menghadiri Rapat dan Pawai Akbar (RPA) 2015 bertema "Bersama Umat Tegakkan Khilafah" di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (30/5). (Liputan6.com/Yoppy Renato) 

Lebih dari itu, Anas mengatakan, paham yang disodorkan lebih bersifat homogen (kesamaan jenis, sifat, dan bentuk). Sehingga membuat orang yang terpengaruh doktrin tersebut, tidak bisa menerima kondisi yang berbeda-beda atau heterogen. "Mereka menjadi sangat dogmatis," ungkap Anas Saidi.

Tiga analisis tersebut tergambar dalam hasil studi yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Singkawang dan Salatiga pada 2016. Di dua kota yang dianggap toleran itu, Balitbang Kemendikbud menemukan benih-benih anti-keberagaman sudah tumbuh.

Riset yang dilakukan terhadap 160 siswa dari dua SMA di Singkawang, dan dua SMA di Salatiga itu menunjukkan, 19,3% atau sekitar 31 siswa setuju dan 3,7% atau sekitar 6 siswa sangat setuju dipimpin pemimpin yang seagama.

Jumlah ini memang masih kalah jauh dibanding siswa yang tidak setuju sebanyak 34,8% atau sekitar 56 siswa dan 16,8% atau sekitar 27 siswa sangat tidak setuju. Namun, angka tersebut menunjukkan kecenderungan siswa tak bisa menerima perbedaan.

Bagi Anas, ini jelas sebuah masalah. Sikap yang cenderung menolak perbedaan akan menjadi preseden buat Indonesia yang heterogen. Dalam kondisi seperti ini, Anas mengatakan, butuh satu payung besar yang mampu menaungi kemajemukan di Indonesia. Ini hanya bisa dilaksanakan dengan menerapkan nilai Pancasila.

"(Selama ini) Pancasila tidak diterapkan. Hanya baru setahap mitos, belum menjadi realitas. Kalau kita mau menunjukkan bahwa Pancasila itu ideologi yang benar dan tepat, maka harus diterapkan dalam semua kebijakan,” kata Anas.

 

3 dari 3 halaman

Formula untuk Anak Muda

Masalah kebangsaan yang tergambarkan dalam sejumlah studi menjadi bagian perjalanan Pancasila. Falsafah kebangsaan yang disepakati Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 ini berulang kali mendapat batu sandungan.

Di zaman kiwari, sandungan tetap ada. Pancasila yang "lahir" 72 tahun lalu ini harus berhadapan dengan generasi baru yang terkadang menuntut kebaruan. Situasi ini perlu disikapi dengan waspada sekaligus bijaksana. Reformulasi konsep pemahaman tentang Pancasila pun harus dibuat.

Yudi Latif menyebutkan, reformulasi ini dimungkinkan untuk menjadikan Pancasila bukan sebagai mitos. "Dalam arti, keyakinan bahwa Pancasila adalah nilai-nilai ideal bagi kehidupan bersama," ucap doktor sosiologi politik dari Australian National University ini.

Nilai Pancasila tidak cukup hanya dihafal. Namun juga harus dipublikasikan, dilembagakan, diterjemahkan dalam institusi budaya politik dan ekonomi. Untuk menuju ke arah tersebut, Yudi mengatakan perlu ada pendekatan soft power.

Cara negara amankan pancasila (liputan6.com/triyas)

Pendekatan ini, kata dia, bisa dilakukan dengan kesenian, sastra, atau metode kreatif lain. Sehingga, nilai Pancasila diterima generasi muda tanpa paksaan. “Lebih sesuai dengan generasi milenial sekarang,” ucap Yudi.

Pendapat ini diamini Robertus Robet. Pegiat di Perhimpunan Pendidikan Demokrasi ini menyebut, formulasi tersebut diperlukan untuk membuat Pancasila sejalan dengan generasi hari ini. Dalam hal ini, untuk menempatkan Pancasila sesuai semangat zaman.

Penempatan ini, kata Robet, tak lain untuk menjawab tantangan penyelarasan Pancasila dengan situasi anak muda. "Kita mengenalkan Pancasila dengan lebih hidup, berbasis pada pengalaman,” ucap Robet.

Ketika Pancasila dipraktikkan, mestinya Afi Nihaya tak perlu murung lagi dan menyuarakan keprihatinan di media sosial.