Liputan6.com, Jakarta - Waktu merujuk pada pukul 11.54 WIB. Gema suara azan penanda masuknya waktu Zuhur berkumandang dari pengeras suara Masjid Agung Al Jauhar di Jalan Raya Kampung Sawah, Kelurahan Jatimurni, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi.Â
Tak lama kemudian, suara lonceng dari Gereja Santo Servatius berdentang selama beberapa kali sebagai penanda waktu ajakan untuk berdoa. Jarak antara dua bangunan ibadah itu tak jauh, hanya sekitar 200 meter.
Kumandang azan dan bunyi lonceng gereja yang saling bersautan merupakan sekilas gambaran suasana sehari-hari permukiman warga Kampung Sawah, sebuah kampung yang namanya dikenal hingga penjuru Tanah Air karena kerukunan hidup antarumat beragama.
Advertisement
Baca Juga
Di kampung itu, sejak lebih dari seabad silam, berdiri dua gereja, Gereja Katolik Santo Servatius dan Gereja Kristen Pasundan Jemaat Kampung Sawah. Di antara dua gereja itu, berdiri Masjid Agung Al Jauhar yang digunakan umat muslim menunaikan ibadah salat lima waktu.
"Ini adalah cerminan keberagaman kami," ujar Ali Akbar, Takmir Masjid Al Jauhar Yasfi, kepada Liputan6.com, Rabu, 31 Mei 2017.
Ali bercerita, implementasi sila ketiga Pancasila, yakni "Persatuan Indonesia" dalam hidup berdampingan di Kampung Sawah diresapi secara utuh. Tidak ada perpecahan, sekali pun memiliki keyakinan berbeda.
Ali mengatakan kerukunan dan toleransi dalam beragama di Kampung Sawah bukan produk generasi sekarang. Kerukunan di sana telah terjaga dan merupakan warisan leluhur warga Kampung Sawah, melalui budaya yang identik dengan Betawi.
"Hidup bertoleran kami di sini adalah sebuah warisan yang harus dijaga dilestarikan. Ini bukan sesuatu yang dibuat-buat, tapi memang nyata," jelas Ali.
Karenanya, Ali berpesan, kelak bangsa Indonesia semoga bisa selalu mengamalkan makna-makna dari Pancasila itu sendiri. Jangan sampai apa yang telah diwariskan, yakni sikap toleransi dari para Bapak Bangsa tergerus oleh zaman.
"Intinya adalah bagaimana kita memberikan kesempatan bagi mereka yang berbeda keyakinan untuk menganut ajarannya masing-masing. Saling mendamaikan karena kita berasal dari satu garis keturunan satu, tumpah darah Indonesia," kata dia.
Toleransi Sebelum Pancasila Lahir
Sementara itu, tokoh masyarakat Kampung Sawah, Jacob Napiun, mengatakan nilai toleransi dan keberagaman di Kampung Sawah memang sudah terjalin cukup lama.
Ia bahkan mengibaratkan, toleransi dan kebinekaan di Kampung Sawah sudah ada sebelum Pancasila dirumuskan oleh para pendiri bangsa.
"Sejarah hidup berbineka di Kampung Sawah saya kira telah lebih dulu ada ketimbang Pancasila. Ini sudah terjadi dari leluhur kami dan ini tidak direkayasa," ucap Jacob yang juga sesepuh Gereja Katolik Santo Sarvetius kepada Liputan6.com.
Menurut pria 61 tahun ini, tidak sulit mempertahankan kebinekaan. Kuncinya adalah menjadi individu terbuka, mengedepankan sikap sosial, dan selalu membantu di kala apa pun.
"Ini (menjaga kebinekaan) tidak sulit karena kami hidup dengan berbeda keyakinan adalah hal yang sehari-hari. Tapi kuncinya adalah bukan dilihat dari apa itu agamamu, tapi bantulah sesamamu, dan itu yang kami lakukan," ujar pria yang kini sibuk mengelola koperasi swadaya ini.
Ia mengatakan, terjaganya kerukunan dalam beragama di Kampung Sawah tak lepas dari nilai-nilai budaya Betawi. Menurut dia, nilai-nilai dalam budaya Betawi mengajarkan bagaimana saling menghargai antar umat beragama.
"Dalam Budaya Betawi tidak mengajarkan mengkotak-kotakkan agama. Jadi kalau kata beberapa budayawan bahwa Bhineka Tunggal Ika atau kebinekaan mini Indonesia ya ada di Kampung Sawah," kata dia.
Jacob tidak menyangkal dia memang menjaga kebinekaan dan toleransi, khususnya di era saat ini. Terlebih melihat situasi nasional belakangan ini yang kerap terjadi benturan antar pemeluk agama di beberapa daerah di Tanah Air.
Namun demikian, ia meyakini apa yang terjadi di daerah lain tidak akan mempengaruhi kerukunan beragama di Kampung Sawah.Â
"Menurut saya ada dua hal, pertama jaga. Jagalah kebersamaan ini tanpa harus terpengaruh isu yang ada. Kedua, toleran. Hormati sesama dan hiduplah berdampingan dengan nyaman," ujar Jacob.
Jacob pun berharap agar tradisi merawat toleransi dan kerukunan antar umat beragama di kampungnya itu dapat menular ke daerah-daereah lainnya yang kerap berkonflik dengan mengatasnamakan agama.
Ia pun berharap apa yang diwariskan oleh leluhurnya dapat diikuti oleh generasi penerusnya.
"Ayo kita belajar berkehidupan seperti ini, (berbineka). Pesan bernuansa etika, penuh budi pekerti, maka saat sudah menjadi bagian dari tradisi kami. Maka buktikan, realisasikan, dan amalkan," Jacob menandaskan.
Advertisement