Liputan6.com, Jakarta - Baru-baru ini remaja berumur 15 tahun di Cipinang Muara, Jakarta Timur, menjadi viral di media sosial karena menjadi korban dugaan persekusi oleh anggota ormas. Polisi pun menindak kasus yang beredar melalui video itu.
Anggota Komisi III DPR Sufmi Dasco Ahmad mengimbau kepolisian agar bersikap profesional dan adil dalam menyikapi kasus dugaan persekusi ini.
"Hendaknya dalam menjalankan tugas Polri hanya mengacu pada KUHP dan perundang-undangan pidana Indonesia lainnya, dan bukannya mengikuti opini sebagian orang," ujar Dasco dalam keterangan tertulisnya, Senin (5/6/2017).
Advertisement
Dasco menjelaskan sesuai rumusan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), persekusi diartikan sebagai pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas. Sementara di dunia internasional persekusi selalu dikaitkan dengan sentimen kebencian rasisme.
"Yang terjadi di berbagai kasus di Jakarta menurut kami tidak tergolong persekusi, karena tidak ada sentimen kebencian rasisme. Orang yang didatangi ramai-ramai oleh warga biasanya bukan karena identitas rasnya, melainkan dikarenakan perbuatnnya yang menyinggung pribadi orang lain," kata politikus Partai Gerindra.
Jikapun terjadi pelanggaran hukum, kata Dasco, tuduhan yang dapat dikenakan adalah pidana biasa seperti penganiayaan, sebagaimana diatur Pasal 351 sampai 355 KUHP atau perbuatan tidak menyenangkan sebagaimana diatur Pasal 368 KUHP.
"Sampai saat ini tidak ada istilah tindak pidana persekusi dalam hukum positif Indonesia. Tetapi isitlah persekusi terlalu seram dan terlalu berlebihan jika dikaitkan dengan kasus-kasus di Jakarta," ujar dia.
Dasco menegaskan, yang terpenting Polri bersikap adil dalam menegakkan hukum. Polri tidak boleh berat sebelah, hanya menindak pihak tertentu tetapi membiarkan pelanggaran hukum yang dilakukan pihak lain.
Tindak Tegas Pelaku
Sementara, Ketua DPR Setya Novanto mengaku prihatin dengan aksi intimidatif oleh beberapa oknum terhadap pihak lain, yang dipandang melakukan perbuatan pelecehan ataupun tidak menyenangkan pihak lain.
Menurut dia sejauh aksi tersebut sudah dibumbui tekanan, pemaksaan maupun intimidasi yang seringkali diwarnai kekerasan verbal maupun fisik, maka aksi tersebut tidak dapat dibenarkan. Tindakan tersebut termasuk persekusi.
"Aksi tersebut sudah tergolong persekusi terhadap pihak lain. Sebagai negara hukum, kita wajib menyerahkan segala persoalan yang memiliki konsekuensi hukum, kepada pihak penegak hukum," kata Novanto dalam keterangan tertulisnya, Senin.
Tindakan main hakim sendiri, kata Novanto, tidak pernah dibenarkan dalam negara hukum. Atas dasar itulah masyarakat harus mengakui keberadaan aparat penegak hukum, serta proses hukum sebagai cara-cara yang beradab di alam demokrasi.
Memang, kata dia, kebebasan bersuara dan berpendapat dijamin oleh konstitusi. Namun kebebasan yang dimaksud haruslah dapat dipertanggung jawabkan, baik secara moral, etika maupun hukum. Sehingga tidak ada pihak yang merasa diri lebih berkuasa atas yang lain ataupun lebih kebal hukum dari yang lain.
"Saya mendukung sepenuhnya arahan Bapak Presiden Joko Widodo yang begitu jelas dan tegas, menyebutkan bahwa persekusi tidak boleh ada di Indonesia. Saya juga mendukung instruksi Bapak Kapolri yang memerintahkan seluruh jajarannya, hingga ke daerah untuk menindak tegas pelaku persekusi," kata Ketua Umum Partai Golkar itu.
Karena itu, Novanto mengimbau kepada seluruh elemen masyarakat untuk menggunakan energi positif bagi perkembangan dan kemajuan bangsa. Sehingga tujuan dan cita-cita pemerintah yang begitu berpihak kepada rakyat, dapat terealisasi dengan baik.
"Janganlah proses ini dihambat oleh energi-energi negatif yang justru kontraproduktif dengan kepentingan kita bersama, kepentingan rakyat Indonesia. Marilah kita meletakkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi maupun kelompok," dia menegaskan.
Novanto menambahkan kemajuan suatu bangsa ditunjukkan oleh penghargaan dan ketaatan pada hukum, pada mekanisme peraturan dan perundang-undangan. Mengedepankan emosi, pendapat pribadi dan kepentingan kelompok sambil mengabaikan proses hukum, menunjukkan ketidakdewasaan dalam menyikapi perbedaan.
"Hukum harus ditegakkan, hukum harus kita ke depankan. Mempercayai mekanisme hukum menunjukkan kedewasaan kita dalam meniti jalan demokrasi, sebagai nilai dan sistem yang kita yakini mampu mengantar dan mewujudkan cita-cita bersama sebagai bangsa Indonesia," Novanto menandaskan.
Tidak Dijadikan Tersangka
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menggandeng Polri untuk memerangi tindakan persekusi. Mereka meminta agar para korban persekusi tidak dijadikan tersangka (ujaran kebencian) atas pendapatnya yang dimuat di media sosial.
"Kami meminta kepolisian dan itu tidak hanya berupa kasus per kasus, tapi juga berupa tindakan kelembagaan mereka untuk tidak menjadikan korban persekusi sebagai tersangka," ujar Ketua YLBHI Asfinawati dalam sebuah diskusi di bilangan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu 4 Juni 2017.
Jika tindakan persekusi yang dilakukan sekelompok orang disambut polisi dengan menetapkan korbannya sebagai tersangka, menurutnya, maka perbuatan itu berpotensi terus berulang.
"Karena tindakan kerumunan ini kan meminta mereka (korban) jadi tersangka. Kalau dituruti, mereka pasti akan berpikir itu (persekusi) boleh," tutur Asfinawati.
Mantan Direktur LBH Jakarta ini menuturkan, kebebasan berpendapat harus dijunjung selama dapat dipertanggungjawabkan. Ia berharap di era demokrasi ini tidak ada lagi upaya mencederai kebebasan berpendapat.
"Kalau yang menulis itu (korban persekusi) dianggap menghina dan ini kan di ruang digital, maka minta saja untuk minta maaf di ruang digital," Asfinawati menandaskan.
Advertisement
60 Kasus Dalam 5 Bulan
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat ada sekitar 60 kasus persekusi terjadi di Indonesia selama Januari-Mei 2017 ini. Jumlah tersebut meningkat secara signifikan pada Mei 2017.
Koordinator Regional SAFEnet Damar Juniarto mengatakan, vonis terdakwa kasus penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada awal Mei 2017 menjadi salah satu pemicu meroketnya tindakan persekusi.
"Putusan terhadap Ahok di bulan sebelumnya yang mengantar angka persekusi lebih tinggi," ujar dia dalam sebuah diskusi di bilangan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu 4 Juni 2017.
Meski demikian, Damar melanjutkan, meningkatnya kasus persekusi karena efek Ahok hanyalah soal kerangka waktu (time frame). Sebab, bukan persoalan korban yang diburu merupakan pendukung Ahok atau sebaliknya.
"Bukan soal Ahoker atau bukan. Perspektifnya, dalam kurun waktu itu ada situasi vonis Ahok, itu membuat efek tingginya persekusi atau terjadinya persekusi. Hanya kaitan waktu, bukan orang yang diburu," jelas dia.
Damar menambahkan, lokasi terjadinya persekusi yang tidak hanya di Jakarta menunjukkan korban tidak melulu simpatisan Ahok dalam Pilkada DKI. Mengingat persekusi juga terjadi di wilayah Sumatera Barat, Kalimantan Timur, dan Maluku.
"Kan tidak ada kaitannya dengan Pilkada Jakarta," ucap dia.
Berdasarkan data SAFEnet, terdapat tujuh akun atau orang yang melapor menjadi korban persekusi pada Januari 2017. Kemudian terdapat tiga kasus persekusi di bulan berikutnya.
Pada Maret 2017 terdapat dua kasus persekusi. Kemudian meningkat sebanyak 13 kasus pada April 2017. Jumlah persekusi meroket tajam pada Mei 2017 yakni sebanyak 43 kasus.
"(Persekusi) Diawali dari beberapa kota di Jawa, menyebar ke Kalimantan pada Februari, Maret-April meluas ke Sumatera, Mei merata secara global di seluruh Indonesia," beber Damar.
Bocah berinisial M di Cipiang Muara, Jakarta Timur, baru-baru ini menjadi korban persekusi yang diduga dilakukan oleh sejumlah anggota ormas. M diduga memojokkan dan menghina pimpinan ormas.
Dalam video yang beredar di media sosial, M mendapat intimidasi dari terduga anggota ormas dan diminta menandatangani perjanjian untuk tidak mengulangi perbuatannya. Selain itu, M juga mendapat kekerasan fisik.
Polda Metro Jaya telah menangkap dan menetapkan dua orang sebagai tersangka kasus persekusi tersebut. Polisi menyatakan tidak menutup kemungkinan ada tersangka lain yang terlibat kasus ini.
Â