Liputan6.com, Jakarta - "Daun-daun kayu yang sudah cokelat dan kering harus jatuh untuk memberikan tempat kepada pucuk hijau dan baru".
Sepenggal kalimat di buku Tukang Kebun karya Rabindranath Tagore itu terus terngiang di benak Sukarno selama 30 tahun. Sukarno membaca buku itu saat usianya 13 tahun dan tak mengerti artinya.
Tiga dasawarsa kemudian, pada usia ke 43 tahun, Sukarno mendapat kabar suka cita. Istri yang baru dia nikahi selama setahun, Fatmawati akan melahirkan seorang anak. Kebahagiaan itu tak bisa dibayangkan oleh Sukarno. Sebab, selama 18 tahun menikah dengan Inggit Ganarsih, Sukarno tak dikaruniai anak.
Advertisement
Jelang melahirkan, seorang tentara Jepang menemui Fatmawati. Perwira itu membawa kain dua blok. Satu blok berwarna merah dan lainnya berwarna putih. "Mungkin dari kantor Jawa Hokokai," pikir Fatmawati seperti tertulis dalam buku Fatmawati: Catatan Kecil Bersama Bung Karno.
Dengan mesin jahit tangan, Fatmawati membuat bendera merah dan putih yang sangat besar. Sementara untuk mempersiapkan pakaian bayinya, dia membeli dari pakaian bekas orang Indo. Fatmawati juga membeli 4 tempat tidur dari rotan untuk calon bayinya. Kemudian, Fatmawati membuat kelambu dari kait tula putih berhias pita biru muda.
"Segala keperluan bayiku buat sendiri tanpa bantuan pembantu," ungkap Fatmawati.
Sebulan sebelum Fatmawati melahirkan, ayah, ibu dan kakak perempuan Sukarno datang. Sang ayah ingin melihat langsung kelahiran cucu pertamanya. Mereka tinggal di paviliun bersama ayah dan ibu Fatmawati.
Pada 3 November 1944 sekira pukul 23.00 WIB, Bung Karno pulang dari rapat dan mendatangi kamar Fatmawati sejenak sebelum pergi ke kamarnya. Saat itu, Fatmawati tengah berjuang menahan rasa sakit dan mules dengan ditemani oleh dokter Sarwono dan dokter Soeharto.
Pada pukul 24.00 WIB, rasa sakit tak tertahankan dirasakan oleh Fatmawati. Tapi, dia justru mendengar dengkuran Sukarno. "Rupanya kecapaian habis rapat," pikir Fatmawati.
Namun, pada bagian ini, Sukarno mengisahkan berbeda. Versi Sukarno, saat Fatmawati menjelang melahirkan dirinya tengah kedatangan tamu dari Jepang dan Indonesia. Fatmawati sibuk melayani mereka, tapi kemudian perutnya sakit. Sukarno sendiri yang mengantarkannya ke kamar dan memanggil dokter.
"Sejak saat itu aku tak pernah beranjak dari sisinya, atau memejamkan mata sedetikpun, sampai lahir anak yang aku tunggu," ujar Sukarno dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Pada 4 November 1944, Fatmawati mendengar sayup-sayup tangisan bayi. Fatmawati melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat. Sukarno pun langsung mencium kening Fatmawati. Kedua dokter yang menolongnya saat melahirkan juga mengucapkan selamat.
Dokter Soeharto berkata, "Laki-laki mbakyu".
Bung Karno berkata, "Anakku seperti Napoleon".
Fatmawati hanya bisa tersenyum bahagia.
Fatmawati pun mendengar teriakan ayah Sukarno dari luar kamar yang berseru: "Jaler nopo wedok?"
"Jaler," jawab Sukarno.
Bayi yang baru lahir itu kemudian diberi nama Muhammad Guntur Sukarnoputra alias Osamu. Nama itu diberikan oleh Jenderal Yamamoto, petinggi militer Jepang.
Kemudian pagi harinya, banyak kiriman bunga mengucapkan selamat atas kelahiran Guntur. Jenderal Maeda mengirim boneka Jepang yang besar berwarna kelabu. Kemudian lainnya, juga memberikan boneka jepang berwarna merah serta kimono kecil untuk anak-anak.
Atas kelahiran Guntur, Sukarno senang bukan kepalang. Dia bersyukur kepada Tuhan karena ayahnya diberi kesempatan untuk melihat cucunya.
Kelahiran dan Kematian
Â
Beberapa bulan setelah kelahiran Guntur, Fatmawati mendapat kabar jika mertuanya, Sosrodihardjo jatuh di Pasar Tanah Abang dan dibawa ke klinik dokter Soeharto. Tiap pagi, ayah Sukarno berjalan-jalan di Tanah Abang untuk melihat keponakannya.
Ayah Sukarno dirawat di klinik selama satu bulan. Namun, cederanya belum sembuh. Sehingga Fatmawati dan keponakan bergantian mengurus ayah mertuanya.
Suatu siang, saat Fatmawati menggendong Guntur kecil, ayah mertuanya memanggilnya: "Fat,". Sosrodihardjo tampak sukar bicara dan melihat Fatmawati dengan pandangan yang sayu. Dia pun lama terdiam sebelum bicara pada Fatmawati.
"Fat, bapak melihat bahwa dalam waktu yang tak lama lagi masmu (Bung Karno) akan pindah dan tinggal di rumah putih itu (Istana Merdeka)," ujar Sosrodihardjo.
"Semoga apa yang menjadi sabda bapak menjadi kenyataan dalam tempo singkat," jawab Fatmawati.
Setelah itu, ayah Sukarno memegang kaki dan tangan Guntur yang kecil sambil berkata "Tur, Tur, Tur,".
Tak lama kemudian, ayah mertua Fatmawati tampak payah sehingga dia memanggil dokter.
"Inalillahi wainalilahi, bapak mertua kembali ke alam baka tidak sempat melihat cucunya hingga dewasa," ujar Fatmawati.
Keesokan harinya, sekira pukul 12.00 WIB jenazah dimakamkan di kuburan Karet. Sepulang dari Karet, Bung Karno merasa tak enak badan.
Tiba-tiba Bung Karno teringat pada buku Tukang Kebun. Di dalamnya mengisahkan tentang daun yang layu dan harus gugur demi memberi tempat pada tunas baru.
"Waktu itu aku tak mengerti maknanya, tiga dasawarasa kemudian barulah aku mengerti," ujar Sukarno.
Advertisement