Liputan6.com, Jakarta - Tidak hanya menjadi dasar negara, Pancasila juga merupakan bagian dari sejarah Indonesia dengan perjuangannya. Bahkan, kata Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri, mungkin tidak ada nama Indonesia, bila tak ada Pancasila.
Pernyataan Mega ini tak berlebihan. Sebab, sebelum memproklamirkan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, Sukarno yang saat itu belum menjadi presiden, telah mengutarakan gagasannya soal rumusan dasar negara yang terdiri dari 5 sila, pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945.
Dalam perjalanan bangsa ini, beberapa kali sejumlah pihak ingin mengganti Pancasila, tak terkecuali di zaman era milenial saat ini.
Advertisement
Guna menjaga Pancasila tetap sebagai dasar negara, Presiden Joko Widodo telah membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP).
Unit kerja ini bertugas meneguhkan kembali nilai-nilai Pancasila di tengah masyarakat dengan berbagai program.
UKP-PIP dipimpin oleh Yudi Latif. Presiden Joko Widodo atau Jokowi melantik Yudi, Rabu (7/6/2017), di Istana Negara.
Setelah pelantikan Yudi, Presiden Jokowi bertemu anggota Dewan Pengarah UKP-PIP. Dari pertemuan itu, Megawati Soekarnoputri terpilih menjadi Ketua Dewan Pengarah UKP-PIP.
Adapun anggota berjumlah 8 orang. Mereka adalah Jenderal TNI (purn) Try Sutrisno, Muhammad Mahfud MD, Ahmad Syafi'i Ma'arif, KH Ma'ruf Amin, KH Said Aqil Sirajd, Andreas Anangguru Yawenoe, Mayjen TNI (purn) Wisnu Bawa Tenaya, dan Sudhamek AWS.
"Ketua Dewan Pengarah Ibu Megawati, Sekretaris Pak Wisnu yang dari Hindu," kata Kepala UKP-PIP Yudi Latif, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (7/6/2017).
Dalam rapat juga ditentukan, pertemuan seluruh Dewan Pengarah dan Struktur eksekutif UKP-PIP akan dilakukan sebulan sekali. Sambil menunggu para deputi yang akan diseleksi dan diputuskan oleh Presiden.
Namun, Yudi belum mengetahui lokasi pertemuan rutin itu. Mengingat UKP-PIP belum memiliki kantor. Tapi paling tidak, dia ingin kantor UKP-PIP mudah diakses oleh masyarakat.
Lokasi sangat penting saat ini. Sebab, UKP Pancasila akan berkomunikasi dengan banyak komunitas untuk membahas masalah Pancasila lebih dalam. Selain itu, Yudi tidak ingin ada sistem protokol yang rumit.
Â
Siapa Yudi?
Yudi dikenal sebagai aktivis dan cendekiawan dengan pemikirannya tentang keagamaan dan kenegaraan.
Salah satu pemikirannya tentang Pancasila ia tuangkan dalam buku berjudul Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, Aktualitas Pancasila. Sejak saat itu, Yudi Latif dikenal sebagai pemikir Pancasila.
Bahkan, menurut cendekiawan Komaruddin Hidayat, agenda sosialisasi empat pilar berbangsa dan bernegara yang dimotori MPR menjadi punya rujukan literatur bermutu atas terbitnya buku itu.
Dalam pemikirannya yang tertuang dalam buku itu, Yudi ingin Pancasila ke depan dikembangkan secara horizontal dengan melibatkan segenap komponen kebangsaan.
Selain pemerintah, kaum intelektual, pemuka agama, seniman, masyarakat media, masyarakat sipil, pemangku adat, dan sebagainya bisa terlibat.
Selain itu, Yudi ingin Pancasila ditempatkan sebagai alat ukur untuk menakar kebijakan negara, menjadi alat kritik kebijakan publik.
Yudi lahir di Sukabumi, Jawa Barat, 26 Agustus 1964. Dia menamatkan studi S1 di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran pada 1990, S2 Sosiologi Politik dari Australian National University pada 1999, dan S3 Sosiologi Politik dan Komunikasi dari Australian National University pada 2004.
Sejak sekolah dasar hingga menamatkan studi doktoralnya, dia selalu mendapat predikat outstanding student.
Karier penelitiannya dimulai ketika bergabung dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 1993.
Pada saat bersamaan, ia terlibat sebagai editor tamu pada Center for Information and Development Studies (CIDES), peneliti senior pada Center for Presidential and Parliamentary Studies (CPPS), dan Direktur Pusat Studi Islam dan Demokrasi (PSID) Universitas Paramadina.
Di luar bidang akademik, Yudi juga seorang penulis yang produktif. Dia menulis dan punya rubrik tetap di sejumlah media massa.
Selain itu, ayah empat anak ini juga aktif sebagai Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan-Indonesia (PSIK-Indonesia), dan sebagai anggota ahli Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID).
Advertisement
Beda UKP-PIP dengan BP7
Keputusan Presiden Joko Widodo untuk membentuk UKP PIP dinilai kebijakan tepat dan dinanti-nanti bangsa Indonesia.
Sejak era reformasi, pemerintah telah kehilangan arah dan orientasi dalam strategi sosialiasi dan pemantapan ideologi Pancasila kepada rakyatnya. Hal itu diutarakan Ketua Fraksi PDIP MPR RI, Ahmad Basarah, menanggapi pelantikan UKP PIP.
"Pembentukan UKP PIP disertai pelantikan para Dewan Pengarah yang terdiri dari tokoh-tokoh nasional berpengalaman, mengikuti denyut nadi perjalanan Republik dengan segenap napas perjuangan dan pengabdiannya masing-masing adalah pilihan tepat," ujar Basarah.
Wakil Sekjen DPP PDIP itu menyebutkan, euforia politik pada awal reformasi telah salah sasaran dengan menjadikan Pancasila sebagai kambing hitam. Pancasila itu dianggap menjadi penyebab langgengnya kekuasaan Jenderal Soeharto selama 32 tahun.
"Padahal, sejatinya Pancasila itu adalah ideologi milik bangsa Indonesia bukan milik suatu rezim tertentu saja," katanya.
Pengkambinghitaman Pancasila ini akhirnya membuat Tap MPR No II Tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) dicabut.
Lalu lembaga yang bertugas melakukan sosialisasi dan pemantapan ideologi bangsa dalam hal ini Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) juga dibubarkan, serta disusul penghapusan mata pelajaran Pancasila dari mata pelajaran pokok di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi.
"Situasi itu terus berlangsung tanpa ada konsep atau strategi baru sebagai pengganti pola P4 dan BP7 terkait dengan pemantapan ideologi bangsa oleh pemerintah. Walhasil saat ini kita menuai badai ideologis berupa aksi-aksi penolakan Pancasila oleh sebagian rakyat Indonesia sendiri karena kelalaian negara membangun mental ideologi bangsanya sendiri," ucap Basarah.
Menurut dia, Yudi Latif yang telah dipercaya dan dilantik Presiden sebagai Kepala UKP PIP adalah tokoh negarawan muda, yang paripurna dalam menekuni dunia Pancasila dengan seksama dan penuh penjiwaan.
"Kita harapkan Yudi Latif dapat membawa lembaga UKP PIP bukan menjadi lembaga seremonial tetapi benar-benar dapat hadir sebagai solusi bangsa dengan program-program yang kreatif dan modern, tanpa harus kehilangan roh ideologisnya demi mengokohkan kembali jati diri bangsa dan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila," ujar Basarah.
Lalu apa bedanya UKP-PIP dengan BP7 yang pernah dibuat Presiden Soeharto pada masa Orde Baru dulu?
Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan, unit kerja Pancasila Jokowi akan menghadapi tantangan yang jauh berbeda dengan BP7. Teknologi, media, dan model pembelajaran juga berbeda dengan masa BP7.
"Tantangan yang dihadapi bangsa ini berubah, dunia berubah, kemudian metode pendidikan pembelajaran berubah. Saya yakin juga banyak inovasi yang akan dikembangkan lembaga ini," kata Pratikno di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat 2 Juni 2017.
UKP-PIP, yang anggota Dewan Pengarahnya terdiri dari3 komponen yakni tokoh agama, negarawan, dan tokoh masyarakat, memiliki mandate jelas.
"Mandatnya jelas, meningkatkan pemahaman, penghayatan pengalaman Pancasila kalau kita gunakan bahasa populer," jelas Pratikno.
Â