Liputan6.com, Jakarta Satu bulan setelah Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok divonis penjara dua tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Pengadilan Negeri Bandung akhirnya menggelar persidangan kasus Buni Yani.
Persidangan Buni Yani erat kaitannya dengan kasus Ahok, dimana Ahok diseret ke meja hijau setelah Buni Yani memposting video potongan pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang mengutip ayat 51 surat Al Maidah. Sementara Buni Yani menjadi pesakitan di ruang sidang terkait aksinya mengunggah penggalan video pidato Ahok.
Dalam kasus ini, polisi tak mempermasalahkan konten video yang diunggah Buni Yani. Namun caption atau deskripsi yang ditulis Buni Yani di akun Facebook-nya dianggap melanggar Pasal 28 ayat 2, juncto Pasal 45 ayat 2 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Sebelum menjadi pesakitan, Buni Yani sempat menggugat praperadilan, namun ditolak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Advertisement
"(Sidang perdana) jam 9 pagi di PN Bandung," ujar salah satu pengacara Buni Yani, Aldwin Rahadian, Senin 12 Juni 2017 saat ditanya jadwal sidang kliennya.
"Kita sudah siapkan semua. Kita kan dengar dulu nanti dakwaannya seperti apa," kata lanjut Aldwin.
Bandung dipilih sebagai lokasi persidangan Buni Yani karena pertimbangan kondusifitas. "Alasannya adalah untuk kelancaran," kata Kepala Kejaksaan Negeri Depok Sufari.
Menghadapi persidangan perdana ini, Aldwin mengatakan pihaknya siap mendengar dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum (JPU).
"Kita sudah siapkan semua. Kita kan dengar dulu nanti dakwaannya seperti apa," kata dia.
Hingga saat ini, pihaknya tetap yakin bahwa Buni Yani tidak bersalah. Menurut dia, unggahan Buni Yani tersebut adalah bentuk kritikan atas pernyataan Ahok terkait Surat Al Maidah ayat 51. Apalagi Ahok sudah divonis bersalah terkait kasus penodaan agama.
"Sangat sangat yakin tidak bersalah. Harusnya lepas dari segala tuntutan. Tapi, kita sebagai warga negara yang taat hukum, kita ikuti aja proses peradilannya," tandas Aldwin.
Â
Saksikan Video Menarik di bawah Ini:Â
https://www.vidio.com/watch/765341-aksi-massa-mewarnai-sidang-perdana-buni-yani-liputan6-sctv
Libatkan Komisi Yudisial
Meski mengaku yakin kliennya tidak bersalah, tim kuasa hukum Buni Yani meminta Komisi Yudisial (KY) mengawasi sidang tersebut.
"Kami memohon kepada Ketua KY, juga secara kelembagaan untuk bisa memantau dan mengawasi proses persidangan Buni Yani agar persidangan ini terjamin profesional, transparan, dan imparsial," kata Aldwin di Gedung KY, Jakarta, Senin 5 Juni 2017.
Dia mengatakan, meminta KY memantau sidang Buni Yani karena kasus tersebut terkesan dipaksakan. Hal itu bisa dilihat dari penyidikan, gelar perkara, dan uji ahli.
"Uji ahli yang kita harapkan dari kita juga tidak bisa dilakukan. Jadi sepihak saja Pak Buni Yani disidik," ujar Aldwin.
Belum lagi, kata dia, berkas beberapa kali bolak-balik dari penyidik ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, dan terakhir berkas dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat.
"Dan prosesnya sampailah pada saat ini dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Bandung," ungkap Aldwin.
Merespons permintaan ini, Ketua Komisi Yudisial Aidul Fitriciada Azhari mengatakan, pihaknya akan memantau sidang Buni Yani. Pemantauan sidang Buni Yani akan berlangsung secara terbuka.
"Kami akan mengirim tim ke Pengadilan Negeri Bandung dan kami akan melakukan pemantauan baik secara terbuka, artinya diketahui oleh majelis hakim, pengacara kemudian penuntut umum bahkan diketahui oleh pengunjung," ujar dia.
Tak sekadar memantau, lanjut Aidul, KY juga akan melakukan pemantauan secara tertutup sesuai prosedur yang ada.
"Kami tidak akan masuk pada dua hal, yaitu soal pertimbangan hakim dan kedua substansi putusan hakim. Jadi, pertimbangan hakim itu di luar kewenangan kami," ucap dia.
Aidul menjelaskan, kewenangan KY hanyalah sebatas memantau apakah persidangan berjalan dengan hakim yang profesional, transparan, dan imparsial. Sementara alasan KY mengirimkan tim pemantau, karena kasus tersebut menyita perhatian publik.
"Intinya kami memberikan perhatian khusus, bukan berarti mengistimewakan, ini beda. Karena memang untuk kasus-kasus yang banyak memperoleh perhatian publik, kita harus memberi perhatian khusus untuk kepentingan publik itu sendiri," beber dia.
Aidul memastikan, KY akan fokus pada dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan hakim dan pedoman dakwaan.
"Ada 10 nilai, 10 prinsip, dan nanti akan kami lihat di dalam proses persidangannya itu apakah hakim menjaga kode etik dan perilakunya," ujar Aidul.
Advertisement
Terancam 6 Tahun Penjara
Dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, jaksa Andi M Topik mendakwa Buni Yani melanggar Pasal 28 ayat 2 dan atau Pasal 32 ayat 1, juncto Pasal 45 ayat 1 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Selain itu juga dikenakan Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, juncto Pasal 45a ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik," kata Jaksa Andi, Selasa (13/6/2017).
Dalam salinan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tertulis ancaman jeratan Pasal 28 ayat 1 dan 2 adalah, "Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)," bunyi pasal 45 ayat 2 UU ITE.
Usai pembacaan berkas dakwaan sebanyak delapan lembar bernomor 674/Pid.sus/2017/PN.Bdg/ oleh JPU di ruang sidang I Kusumah Atmadja, Buni Yani mengaku heran dan tidak dapat memahami dakwaan jaksa.
"Saya tidak mengerti dakwaan tersebut oleh karena saya belum pernah diperiksa untuk Pasal 32, saya hanya diperiksa untuk Pasal 28 ayat 2. Jadi saya tidak mengerti," ujar Buni Yani usai sidang di PN Bandung.
Dia juga mengatakan tidak merasa memfitnah Ahok. Sebab, kasus tersebut telah selesai dan Ahok telah divonis penjara.
Hal senada diungkapkan pengacaranya, Aldwin Rahadian. Dia menilai Pasal 32 tersebut tidak pernah ada dalam fakta penyidikan. Buni Yani juga tidak pernah di BAP pasal tersebut.
"Artinya tiba-tiba nempel masuk ke pengadilan," ketus Aldwin.
Aldwin menilai dakwaan jaksa tersebut juga tidak berdasar. Ini lantaran Buni Yani disebutkan tidak mengubah maupun mengedit video yang berisi pidato Ahok saat berada di Pulau Seribu. Terlebih hasil pemeriksaan forensik Mabes Polri menyebutkan bahwa video itu masih asli alias tidak diotak-atik.
Karena itu, kuasa hukum Buni Yani melayangkan keberatannya atas seluruh materi dakwaan.
Buni Yani sendiri usai menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), ikut berorasi bersama pendukungnya di Pengadilan Negeri (PN) Bandung.
"Terima kasih yang telah membela keadilan dan melawan kezaliman. Kita cinta negara ini dan melawan kezaliman. Ketika Gubernur Ahok di penjara kasus saya dihentikan, ini malah dinaikkan ke pengadilan, mana logikanya," ‎kata Buni Yani dalam orasinya.
Mantan Gubernur DKI Jakarta Ahok, kata dia, telah divonis penjara. Dengan begitu kasus yang didakwakan kepadanya perlu dipertimbangkan kembali oleh hakim.
"Saya ditersangkakan seolah-olah memfitnah Ahok, dia masuk penjara artinya saya tidak memfitnah. Fakta hukum harus menjadi pertimbangan hakim," ujar Buni Yani.
Usai pembacaan dakwaan, majelis hakim yang dipimpin M. Sapto dan beranggotakan M. Razzad, Tardi, Judijanto Hadi Laksana, dan I Dewa Gede Suarditha memutuskan menunda sidang dan akan ‎kembali digelar pada Selasa, 20 Juni 2017, dengan agenda pembacaan eksepsi atau keberatan.
Selama sidang berlangsung, kelompok pendukung Buni Yani dari Aliansi Pergerakan Islam (API) yang dipimpin Asep Syaripudin, melakukan orasi di luar sidang.