Sukses

Kado Awal Sekolah dari Mendikbud

Ketua KPAI mengaku pesimistis program full day school dapat mengurangi bullying atau kekerasan di lingkungan sekolah.

Liputan6.com, Jakarta - Rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang akan menerapkan sistem belajar 8 jam sehari di sekolah menuai pro dan kontra. Lini massa media sosial dan dunia maya pada umumnya ramai oleh komentar para warganet, baik yang menyatakan setuju atau tidak.

Rencananya, sekolah dengan 5 hari belajar selama 8 jam setiap hari ini akan mulai diterapkan pada tahun ajaran baru 2017-2018. Para pelajar dari SD hingga SMA akan menjadi target pelaksanaan cara belajar yang baru ini.

Banyak argumen yang diajukan oleh mereka yang tidak setuju dengan gagasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy ini. Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifah Amaliah, misalnya, mengatakan sistem tersebut akan mempengaruhi kondisi kejiwaan siswa.

"Harus bisa bayangkan bagaimana kondisi para siswa ini. Apabila terwujud full day school, siswa hanya istirahat 1,5 jam. Yang sudah bekerja saja selalu mengeluh waktu istirahatnya kurang," kata Ledia di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (17/6/2017).

Dia menjelaskan, bagi orang tua yang berasal dari daerah, membutuhkan anaknya untuk membantu pekerjaan mereka. Karena itu, kebijakan Mendikbud ini dinilai tidak cocok diterapkan di Indonesia.

"Keluarga di Indonesia masih perlu bantuan anak-anak dalam membantu perekonomian," tutur dia.

Sejumlah anak sekolah berjalan di samping tumpukan sampah di TPA Bantar Gebang, Kota Bekasi, Jawa Barat.  (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Ledia pun meminta agar Mendikbud mengkaji ulang kebijakan belajar 8 jam sehari itu, jika nantinya tetap akan diterapkan di Indonesia. "Jadi memang Mendikbud harus mengkaji ulang peraturan itu," harap Ledia.

Kritikan juga datang dari Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni'am Sholeh. Dia mengatakan, dengan adanya Permendikbud soal penambahan jam sekolah menjadi 8 jam dalam sehari alias full day school, berpotensi membuat siswa melakukan bullying.

Itu disebabkan, dengan banyaknya aktivitas, memungkinkan para siswa terganggu kejiwaannya. Mereka tidak dapat menyalurkan kegiatan bermainnya sehinga memungkinkan terjadinya bullying.

"Nah, dengan memperpanjang waktu ini mempunyai potensi kekerasan lebih tinggi," kata Asrorun dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini Jakarta Pusat, Sabtu.

Dia pun mengaku pesimistis program full day school dapat mengurangi bullying di lingkungan sekolah. Apalagi, bullying dan kekerasan di sekolah setiap tahunnya selalu meningkat.

"Jadi adanya peningkatan tren dari kekerasan di sekolah belakangan ini sejak 2014 hingga sekarang terus meningkat," tutur Asrorun.

"Jadi penambahan jam sekolah tanpa penguatan karakter guru akan berpeluang besar terjadinya kekerasan terhadap anak," imbuh dia.

Karena itu, menurut dia, Permendikbud tersebut perlu melibatkan kementerian lain untuk membahasnya karena dalam pelaksanaannya juga akan melibatkan kementerian lain.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Asrorun Niam memberikan penjelasan saat diskusi Full Day School di Jakarta (17/6). Kebijakan full day school yang digagas oleh Mendikbud Muhadjir Effendi menuai pro dan kontra. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

"Masalah pendidikan bukan hanya Kemendikbud, tapi lintas kementerian terkait, seperti Kementerian Agama. Idealnya bukan Permen tapi Peraturan Pemerintah," kata Asrorun.

Selain itu, dia menilai Permendikbud soal full day school itu tidak berpihak kepada masyarakat. Sebab, dalam membuat kebijakan tersebut, Kemendikbud tidak melibatkan masyarakat.

"Ini kan penyusunan Permen terkait dengan masyarakat. Tapi masyarakat sendiri tidak dilibatkan secara maksimal," jelas dia.

Asrorun mengatakan, idealnya dalam pendidikan anak harus menjadi poros dan subjek. Namun, anak justru dijadikan objek dengan adanya Permen ini.

"Padahal banyak orangtua yang ingin mendidik anaknya secara langsung. Terkait pengaturan jam sekolah, tidak ada masalah. Inilah yang harus dibuka ruang, soal opsionalitas yang harusnya masuk dalam Permen tersebut," pungkas Asrorun Niam.


Saksikan video menarik di bawah ini:

 

2 dari 3 halaman

Bukan Menyandera Siswa


Namun begitu, semua kritikan tersebut dibantah pihak Kemendikbud. Kepala Biro Akademik Kemendikbud Ari Santoso menilai, banyak pihak yang salah persepsi dengan kebijakan full day school atau sekolah 8 jam yang kini ramai dibicarakan di masyarakat. Ari mengatakan, dalam Peraturan Menteri (Permen) tidak ada kata full day school.

"Yang dipermasalahkan adalah kata full day, seolah anak-anak disandera di sekolah. Padahal dalam Permen ini adanya penguatan pendidikan karakter. Tidak ada satupun menambah pelajaran dalam penguatan pendidikan karakter," tutur Ari dalam sebuah diskusi di Kawasan Cikini Jakarta Pusat, Sabtu.

Dia mengatakan, untuk menempuh pendidikan tidak hanya dapat dilakukan di sekolah saja. Kemendikbud hanya menambah jam pelajaran untuk kokurikuler dalam menggali hobi para siswa, agar tidak jenuh belajar di sekolah.

"Bukan menambah jam. Kalau seluruh ekstrakurikuler dan kokurikuler semuanya di sekolah, padahal bisa kerja sama dengan yang lain misalnya kerja sama dengan instansi luar," kata Ari.

Dia juga menjelaskan, terkait penambahan jam sekolah tidak berarti siswa harus berada di sekolah selama 8 jam. Dari 8 jam tersebut, nantinya akan dibagi menjadi kegiatan belajar di luar sekolah, seperti ekstrakurikuler.

"Jadi enggak 8 jam itu diselesaikan di sekolah. Kan ada kegiatan di luar (ekstrakurikuler) dan belajar kelompok," jelas Ari.

Mulai bulan depan, pelajar sekolah tingkat akhir baik itu SMP/SMA Sederajat di seluruh Indonesia akan melaksanakan Ujian Nasional (UN) 2017.

Dia menilai, masyarakat belum mengetahui konsep dari kebijakan full day school. Sebab, selama 8 jam pelajaran itu, juga akan diisi dengan penguatan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler.

"Niat pemerintah itu bukan menambah kegiatan intrakurikuler, tapi menambah waktu bermain siswa lewat ekstrakurikuler," ujar dia.

Untuk itu Ari menegaskan, program full day school adalah untuk memperkuat pendidikan karakter siswa di sekolah, bukan untuk menyandera para siswa.

Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan, program belajar 8 jam sehari baik untuk penguatan karakter tiap pelajar.

"Ini menjadi konsep umum program penguatan karakter. Secara umum ini penunjang ekstrakurikuler, memanfaatkan yang di dalam dan di luar sekolah," kata Muhadjir di Gedung Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jakarta Pusat, Rabu 14 Juni 2017.

Muhadjir menjelaskan, program delapan jam yang akan diterapkan pada tahun ajaran 2017-2018 ini berbeda dengan sistem full day school, yang umumnya diterapkan sekolah swasta.

Program delapan jam per hari ini dibagi tiga bagian, yakni empat hingga lima jam sebagai intrakurikuler, yang memuat pelajaran pokok seperti matematika dan bahasa.

Sebanyak 45 persen sekolah di Banten harus mengikuti UN secara manual atau menggunakan kertas dan pensil.

Kemudian, dua jam selanjutnya kokurikuler dengan pelajaran ilmu alam dan ilmu sosial. Lalu satu hingga dua jam ketiga, adalah ekstrakurikuler yang berisi pengembangan diri seperti agama, seni, dan olahraga.

Muhadjir mencontohkan, pemanfaatan pelajaran penunjang atau ekstrakurikuler adalah sesuatu yang menonjol di tiap daerah.

"Jadi jika di daerah satu menonjolnya madrasah diniyah, ya itu (ekstrakurikulernya), kalau menonjolnya seni, ya seninya," ujar dia.

Karena itu, Muhadjir mengimbau, agar program ini jangan disamakan dengan istilah full day school, sebab istilah tersebut umumnya digunakan sebagai branding sekolah dan berbeda dengan terapan program Kemendikbud.

"Mohon ini jangan menggunakan istilah full day school lagi, karena itu branding, dan itu beda sekali sama program kami ini," Muhadjir menandaskan.

 

 

3 dari 3 halaman

Harus Dilaksanakan Bertahap

Di antara banyak yang tak setuju, tak sedikit pula yang mendukung sekaligus memberi saran bagi kelanjutan program ini. Ketua MPR Zulkifli Hasan, misalnya, setuju dengan rencana Kemendikbud yang akan menerapkan program full day school atau belajar delapan jam sehari bagi pelajar.

"Kalau saya setuju," ujar Zulkifli di Lampung, Jumat 16 Juni 2017.

Meski setuju, Zulkifli mengatakan, program ini harus dilakukan secara bertahap. "Pelaksanaannya disesuaikan dengan daerah masing-masing, bertahap," ucap dia.

Menurut Ketua Umum PAN ini, bagi sekolah-sekolah yang memang sudah siap menerapkan aturan belajar delapan jam sehari, bisa langsung menerapkan. Tapi di desa-desa atau pelosok kemungkinan akan mengalami kendala.

"Bagi yang sudah siap seperti kota, saya kira bagus. Tentu pelaksanaannya bertahap. Mungkin kalau yang desa itu ada kendala teknis, tapi secara umum sekolah delapan jam itu bagus. Sekolah-sekolah internasional juga begitu, sehingga Sabtu-Minggu mereka bisa kegiatan-kegiatan lain yang produktif," kata dia.

Ketua MPR RI menghadiri soft launching Sekolah Ayah dan Ibu Negeri (SAIN)  sekaligus pemberian santunan kepada 250 anak yatim dari GIN.

Demikian pula dengan Wakil Ketua MPR Mahyudin. Dia menilai, segala keputusan yang diambil pemerintah pastinya akan menghadirkan pro dan kontra di masyarakat.

"Segala keputusan yang diambil selalu menghadirkan pro dan kontra, termasuk rencana sekolah lima hari," ujar Mahyudin di Jakarta, Jumat 16 Juni 2017.

Dia menilai, kebijakan sekolah lima hari dan delapan jam per hari itu bagus meski ada yang menolak. Ia pun memberikan contoh, anaknya yang telah sekolah lima hari dari Senin sampai Jumat.

"Anak saya sekolah di sekolah lima hari, prestasi dan nilainya bagus," ucap dia.

Seorang siswa menguap menahan kantuk sebelum upacara di SD Pasar Baru 05, Jakarta, Senin (27/7/2015). Usai libur panjang Idul Fitri para siswa kembali beraktivitas mengikuti pelajaran di sekolah untuk tahun ajaran 2015-2016. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Menghadapi pro dan kontra tentang sekolah lima hari, Mahyudin pun mengusulkan agar model seperti itu diterapkan dahulu di perkotaan.

"Dicoba di daerah perkotaan, tidak harus sekaligus serentak di seluruh Indonesia dan mata pelajaran yang ada tidak harus dipadatkan," kata dia.

Untuk melihat praktik sekolah lima hari, dirinya pun menyarankan agar melihat sekolah-sekolah yang sudah menerapkan dan sukses serta bagus hasilnya.

"Sekolah itu selanjutnya bisa menjadi contoh dan bisa dilakukan," pungkas Mahyudin.

 

Â