Sukses

Viral Gaj Ahmada, Ini Paparan Penulis 'Majapahit Kerajaan Islam'

Herman menjelaskan dalam Mardi Kawi ada tata cara menulis, membaca, dan menerjemahkan simbol.

Liputan6.com, Jakarta - Gajah Mada, panglima perang dan tokoh yang sangat berpengaruh di Kerajaan Majapahit --yang notabene kerajaan Hindu--belakangan viral atau menjadi isu yang ramai dibahas warganet. Gajah Mada disebut-sebut beragama Islam.

Isu tersebut mendadak ramai karena berawal dari buku berjudul Fakta Mengejutkan: Majapahit Kerajaan Islam. Sang penulis, Herman Sinung Janutama akhirnya angkat bicara melalui video yang beredar di media sosial.

Dalam video yang diunggah pemilik akun Patih Dadjah Mada pada 19 Juni 2017 itu, Herman menjelaskan metode penulisan dalam buku tersebut, saat dia "diadili" di kantor Muhammadiyah Kota Yogyakarta berkaitan dengan isu viral Gaj Ahmada.

"Dalam bicara sejarah, kita harus mengetahui epistemologi kita sendiri. Tata pengetahuan kita sendiri. Membaca aksara Kawi, maka kita harus menggunakan epistemologi --cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan-- kami," kata Herman, seperti dikutip Liputan6.com dalam video berjudul "Epistemologi Kawi Gadjah (ah)mada", Senin (20/6/2017).

"Bukan menggunakan epistemologinya De Graaf atau yang lain, misalnya profesor dari Universitas Michigan Amerika Serikat, Nancy K Florida, sekalipun dia membaca 750 ribu manuskrip Nusantara," dia menegaskan.

Herman menjelaskan dalam Mardi Kawi ada tata cara menulis, membaca, dan menerjemahkan simbol. Metodologi penulisan bukunya solid karena cara ini sudah digunakan sejak ratusan tahun lalu.

Pria berkacamata dan berambut gondrong itu mencontohkan penulisan dua suku kata Kawi digabungkan menjadi satu, yang di tengahnya terdapat suku kata yang sama, maka salah satu harus dilebur.

"Itu namanya Garbah. Misalnya, Kusuma Mangku, maka saya hanya akan menuliskan Kusumangku. Nusa, Anta, Tara, maka akan saya gabungkan Nusantara," kata dia dalam video berdurasi 3 menit 22 detik itu.

"Maka ketika saya membaca Gajah Mada, disambung, ketika saya memisahkan, Gajah dan Mada saja, sekalipun maaf-maaf saja, ini menjadi nama universitas terkemuka. Saya harus mengembalikan satu suku kata tersebut pada awalnya, sehingga saya katakan Gadjah (Ah)mada. Ini aturan main dalam penulisan kami," Herman menandaskan.

Pada video lainnya berjudul "Metodologi Penulisan Sejarah Gajah (ah)mada", dengan akun yang sama, Herman juga menyebutkan apa pun sumber informasi yang diperoleh akan dia diterima, kemudian dibuktikan melalui penelitian dan survei.

"Dalam menuliskan kita tidak mau menggunakan model-model penulisan laporan, tidak mau. Kita ingin terlibat, harusnya dengan bahasa-bahasa seni fenomenologi --ilmu tentang perkembangan kesadaran dan pengenalan diri manusia sebagai ilmu yang mendahului ilmu filsafat atau bagian dari filsafat. Jadi kita terlibat dalam situs itu," ujar dia.

Herman menegaskan penulisan buku ini juga menggunakan metodologi yang jelas. Dia mengklaim tidak mungkin menulis buku ini hanya sekadar mencari sensasi atau viral di media sosial.

"Pertanyaan sekarang, mana mungkin saya membicarakan ini di level viral? Enggak mungkin, karena kami berbicara kerapian metodologi. Kerapian metodologi ini membuat kita harus mengetahui materi penelitian kita, subjek penelitian kita, materialnya," kata dia.

"Karena itu yang akan menghasilkan data. Maka saya menyiapkan mesin metodologinya. Maka saya bilang data-data, data data akan datang sendiri. Ini bukan metodologi tapi ini adalah spirit ilmiah," penulis buku Majapahit Kerajaan Islam itu menandaskan.

Â