Liputan6.com, Yogyakarta - Warganet sedang ramai membicarakan nama patih Kerajaan Majapahit, Gajah Mada yang seorang muslim. Penyebutan Gajah Mada seorang muslim berasal dari sebuah buku berjudul Fakta Mengejutkan: Majapahit Kerajaan Islam.
Si penulis, Herman Sinung Janutama, mengatakan, dari penelitian yang dilakukan dalam menyusun buku, menghasilkan banyak fakta menarik terkait kerajaan besar saat itu. Mulai dari nama asli Gajah Mada, yaitu Gajah Ahmada hingga agama yang dianutnya.
Bagi Herman, ada perbedaan hasil penelitiannya dengan sejarah yang ada saat ini. Sebab, waktu itu kondisinya berkaitan dengan kegiatan politik saat itu, yaitu penjajah Belanda. Maka dalam penelitiannya ia memakai metodologi sendiri.
Advertisement
"Neerlando sentrisme ini kan mereka nunggu dikapalkan lalu informan datang dan menulisnya. Ini jadi laporan untuk pemerintah Belanda. Neerlando sentrisme ini kan tidak pernah ke situs, lokasinya mana karena dari informan. Lalu mereka menyusun tentang Jawa dan Indonesia," ujar Herman di Gedung Pimpinan Daerah Muhammadiyah, Yogyakarta, Senin 19 Juni 2017.
Dalam membuktikan penelitiannya ini, ia pernah berdebat dengan antropolog dunia, Arlo Griffiths, yang mengkritik bukunya. Namun, ia menerima kritikan itu karena baginya artefak batu misalnya yang diketahui antropolog Prancis itu belum menyeluruh.
Karena artefak batu yang ada di Indonesia dan Jawa ini terhitung sangat banyak, sehingga ia ingin menyumbang kekayaan alam dan budaya ini bagi dunia dalam dunia penelitian.
"Apa yang Anda ketahui tentang batu artefak. Bagi kami itu belum ada apa-apanya. Saya bilang, saya ini orang Jawa yang miliki artefak ini masih banyak batu lain seperti Watu Gilang, Watu dampar, dan Watu kombor masih banyak lainnya," kata dia.
Herman mengaku sumber data bisa didapat di museum dan artefak yang ada di Jawa. Sehingga sumber utama dari penelitiannya adalah semua yang ada di Indonesia.
Lalu, sumber dari luar Indonesia menjadi data pendukung penelitiannya atau sekunder. Setelah itu juga ada data tersier yang juga menjadi sumber penelitiannya. Metodologi inilah yang digunakannya dalam menyusun sebuah buku Majapahit Kerajaan Islam.
"Apa pun itu berupa artefak manuskrip, cerita tutur dan lainnya silsilah cerita basis mitologi juga sebagai primer. Jadi, kita harus membaca metodologi yang digunakan nenek moyang kita juga. Karena kita tidak mungkin membaca sumber internal kita dari kacamata barat. Kita akhirnya perkenalkan ini lho epistemologi kita, ini lho epistemologi modern," ujar dia.
Selain itu, metodologi yang dipakainya adalah langsung ke lokasi yang berkaitan dengan penelitiannya atau In situ. Ia tidak ingin seperti cara Belanda mengumpulkan informasi yang mengandalkan informannya.
Sebab, di Yogyakarta dan Indonesia banyak situs berserakan untuk pembelajaran dan penelitian. Cara ini menurutnya akan menghasilkan penelitian berbeda daripada yang mengandalkan laporan dan foto semata seperti cara neerlando sentrisme.
"Situs situsnya berserakan di Jogja. Kita harus dong in situ kita ingin abad ke-9 ya ke Borobudur. Ada puluhan candi. Ingin kenal zaman Demak kita ada peninggalan Trenggono ada di sini. Putri Trenggono makamnya ada di bandara. Kita raba, kita cium kita hisap baunya kita lihat ornamen kita baca kala ada enskripsinya. Buat apa kita percaya dari orang jauh yang tidak langsung in situ," ujar dia.
Herman menyebut, penelitian yang dibuatnya menggunakan bahasa seni fenomologi. Sebab, dalam metode ini ia ingin terlibat langsung karena kedekatan dengan nenek moyang.
Ia juga bisa memakai metodologi milik Mircea Eliade atau Susanne K Langer. Ini membuktikan bahwa tidak semua dari luar negeri tidak dipakai.
"Mana mungkin saya bicara seperti ini di level viral. Karena kita bicara kerapian metodologi membuat kita harus ketahui materi subjek penelitian karena akan menyentuh data. Data data akan datang ini bukan mitologi tapi spirit ilmiah," ujar Herman.
Â
Â
Â
Â
Saksikan video menarik di bawah ini: