Sukses

Tragedi Dini Hari di Petarukan

Sebanyak 34 orang tewas dan puluhan lainnya luka dalam tabrakan kereta Argo Bromo Anggrek dengan kereta Senja Utama di Stasiun Petarukan, Pemalang, Jateng. Masinis Argo Bromo Anggrek telah ditetapkan sebagai tersangka karena dinilai sebagai penyebab kecelakaan.

Liputan6.com, Pemalang: Pagi masih buta. Seluruh penumpang mungkin tengah tertidur lelap ketika kereta Argo Bromo Anggrek menabrak kereta Senja Utama yang tengah berhenti di Stasiun Petarukan, Pemalang, Jawa Tengah, Sabtu (2/10) silam sekitar pukul 03.00 WIB. Sebanyak 34 orang tewas dan puluhan lainnya luka dalam kecelakaan tersebut.

Di hari yang sama, kecelakaan juga terjadi di Stasiun Purwosari, Solo, Jateng. Kereta Bima rute Jakarta-Surabaya menyerempet kereta Gaya Baru Malam. Seorang penumpang tewas dalam kecelakaan tersebut, yakni anggota TNI Angkatan Laut Prajurit Satu Surya Catur Utomo.

Menurut Direktur Jenderal Perkeretaapian Tundjung Inderawan, kecelakaan di Stasiun Purwosari terjadi karena petugas pengatur perjalanan kereta api (PPKA) tidak fokus memasukkan kereta ke jalur satu secara sempurna. Hal itu, imbuh dia, disebabkan ada massa yang melempari kereta Gaya Baru. Lalu apa penyebab kecelakaan di Stasiun Petarukan?

Komite Nasional Keselamatan Transportasi atau KNKT menyatakan butuh waktu satu bulan menyelidiki penyebab Argo Bromo Anggrek yang semestinya masuk jalur satu tiba-tiba nyelonong ke jalur tiga tempat kereta Senja Utama sedang parkir. "Satu bulan akan keluar laporan faktual," kata Ketua KNKT Tatang Kurniadi. Temuan ini akan diserahkan ke Kementerian Perhubungan nantinya.

Namun, baru dua hari penyelidikan, Menteri Perhubungan Freddy Numberi sudah memvonis masinis kereta Argo Bromo sebagai pemicu kecelakaan itu. "Masinisnya ngantuk kok," kata Freddy. Hasil evaluasi menyebutkan, asisten masinis menegur masinis yang tetap menjalankan kereta meski lampu sudah merah.

Tundjung setali tiga uang. Ia menyatakan indikasi awal kecelakaan itu akibat kesalahan masinis. "Masinis melanggar sinyal merah," kata Tundjung. Pernyataan ini sama seperti kesaksian Aji Wibowo. "Kita sudah memberikan sinyal merah kepada kereta Argo Bromo Anggrek. Tapi, kereta tetap menerobos," kata petugas di Stasiun Petarukan itu.

Muhammad Kholik Rusdianto, sang masinis, mengaku mengantuk saat membawa kereta. Ia pun telah ditetapkan Kepolisian Resor Pemalang sebagai tersangka. Kholik dikenakan pasal 206 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, pasal 259, serta 360 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang Kelalaian yang menyebabkan kematian.

Benarkah Hanya Kesalahan Masinis?


Sekadar informasi, kesalahan manusia atau human error mendominasi penyebab kecelakaan kereta api. Merujuk data Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, dari 147 kasus kecelakaan kereta api yang terjadi selama 2008, sebanyak 33 persen disebabkan human error, yakni kesalahan masinis maupun petugas perkeretaapian lainnya. Sedangkan dari 90 kasus kecelakaan kereta api pada 2009, faktor human error mencapai 27 persen.

"Selama 2008 sampai 2009, faktor manusia masih dominan sebagai penyebab kecelakaan kereta api dibanding empat faktor lainnya," kata Direktur Keselamatan dan Teknik Sarana Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Hermanto Dwiatmoko. Biasanya, faktor manusia terjadi lantaran pegawai kereta api tidak mengikuti standar operasi prosedur, mengantuk, tertidur, serta pengaturan tugas dari dinas perkeretaapian yang kurang bagus sehingga petugas kelelahan.

Empat faktor lainya adalah sarana, prasarana, alam, dan faktor eksternal. Pada 2008, kecelakaan kereta akibat faktor sarana mencapai 25 persen. Untuk tahun lalu, naik menjadi 27 persen. Sarana diakibatkan antara lain pengereman tidak sempurna, as roda rusak, bearing atau gir yang macet, kelebihan beban, suku cadang yang tak sesuai standar. Sisanya prasarana serta faktor eksternal, seperti bencana alam, bantalan rel dicolong, atau akibat kelalaian pengemudi kendaraan lainnya.

Untuk kasus tabrakan Argo Bromo Anggrek dengan Senja Utama, polisi tengah menyelidiki faktor lain. Polisi menyelidiki dalam kecelakaan itu instrumen kereta api berfungsi normal atau tidak. Begitu juga dengan standar operasional kereta, sarana-sarananya, serta stasiun-stasiun yang dilewati kereta sebelum sampai di Stasiun Petarukan.

KNKT sendiri setelah sebulan menyelidiki kecelakaan ini masih akan menganalisa seluruh temuan menjadi suatu rangkaian dari fungsi sistem. Hasilnya baru akan diketahui pada bulan ketiga pascakecelakaan. "Jadi, kami tidak serta merta menuduh siapa yang salah. Harus tunggu hasil analisis dari tim investigasi," ucap Ketua KNKT Tatang Kurniadi.

Anggota Tim Investigasi KNKT, Koensabbono Inpasiarpo, mengatakan, pihaknya akan menyelidiki masinis kereta. "Kami akan memeriksa kondisi masinis secara menyeluruh," ujarnya. Penyelidikan meliputi kondisi fisik dan psikis masinis, serta mempelajari rekaman sinyal komunikasi antara masinis dan operator di Stasiun Petarukan.

Penyelidikan KNKT juga fokus terhadap persoalan satu jalur ada dua kereta. "Ini yang menjadi titik berat kami dalam melakukan investigasi. Kenapa dalam satu jalur terdapat dua kereta? Sedangkan kereta yang satu belum pergi," tutur Tatang. KNKT, masih menurut Tatang, harus mendapat jawaban dalam peristiwa tersebut, termasuk meminta keterangan dari sejumlah saksi. "Kami akan merekomendasi keakuratan dari seluruh sistem dan melakukan pengecekan," ujarnya.

Ya, tak ada penyebab tunggal dalam setiap kecelakaan kereta. Sebab, semua mobilitasnya dipengaruhi aturan sistem perjalanan tertentu dan didukung prasarana khusus. Menurut seorang masinis, kecelakaan tidak bakal terjadi jika wesel sudah dipindah saat kereta memasuki stasiun. "Sekali masinis ngantuk, kereta tak akan celaka," katanya. Sebab, pedal kejut secara otomatis terinjak dan rangkaian kereta bakal berhenti.

Jika memang kecelakaan itu disebabkan masinis mengantuk, lantas di mana fungsi pengawasan terhadap kesiapan seorang masinis saat akan bertugas, seperti tes kesehatan? Ini patut dipertanyakan. Terlebih, kinerja seorang petugas atau karyawan PT Kereta Api, termasuk masinis beberapa tahun terakhir terus digenjot lantaran jumlah penumpang terus naik. "Mau ambil cuti saja sulit sekarang," kata seorang masinis kereta rel listrik.

Dedi, seorang mantan masinis mengaku prihatin dengan masinis kereta diesel lantaran harus mendengar berisiknya mesin selama berjam-jam. "Coba tes kesehatan pendengaran mereka, rata-rata pasti bermasalah," kata Dedi. Lantaran itu, KNKT meminta PT Kereta Api memeriksa kesehatan telinga masinis. Kelelahan masinis akibat suara bising kereta pun diduga sebagai salah satu faktor pemicu kecelakaan kereta Argo Bromo Anggrek dengan Senja Utama. "Selama ini tidak pernah ada upaya PT Kereta Api memeriksa kesehatan telinga masisnis," kata Ketua KNKT Tatang Kurniadi.

Pengakuan mengejutkan datang dari masinis kereta api listrik, Agus Nurohman. Ia terpaksa menyambi menjadi tukang jamu dan tukang pijak karena gajinya tak mencukupi kebutuhan keluarganya. "Kalau sekadar untuk makan, insya Allah (gaji) saya cukup. Tapi, kalau untuk kebutuhan anak sekolah, kebutuhan emergency, saya tidak ada," kata Agus. Jika masinis harus menyambi kerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, wajar jika kondisinya tidak fit saat akan membawa kereta.

Belajarlah dari India


Pengamat kereta api dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Taufik Hidayat, tabrakan satu arah seperti Argo Bromo Anggrek dan Senja Utama sudah kerap kali terjadi. Tapi, masalah ini seolah tak pernah ada penyelesaian. Ia pun mendesak semua kereta api dipasangi global positioning system di atau GPS. Fungsinya, untuk memonitor pergerakan setiap kereta.

"GPS sebenarnya sudah dipasang di banyak lokomotif, tapi belum di seluruh lokomotif," kata Taufik. "Mekanisme monitoring juga perlu disempurnakan. Teknologi memang harus dimanfaatkan, tidak bisa lagi kita selalu mengandalkan alat-alat manual."

Menurutnya, setidaknya ada tiga pilar yang harus dibenahi jika ingin kereta api membaik, yakni manusia, organisasi, serta teknologi. "Gaji masinis ditambah pun tidak cukup, bila pemanfaatan teknologi diabaikan. Ketiganya harus dibangun dengan paralel," ujar Taufik.

Karena itu, jika PT Kereta Api tidak mampu memasang GPS di seluruh kereta, pemerintah harus mendorong PT Kereta Api memasang GPS. "Pemerintah harus mendanai. Atau keuntungan PT Kereta Api tahun lalu sebesar Rp 150 miliar kembalikan untuk membeli alat-alat yang mendukung keselamatan," ujar Taufik. "Buat apa untung bila masih ada korban jiwa."

Sebenarnya, Direktorat Jenderal Perkeretaapian bukan tanpa aksi untuk mengantisipasi terjadinya kecelakaan. Sejak Desember 2009, semua masinis, asisten masinis, dan Pengatur Perjalanan Kereta Api atau PPKA wajib mengantongi sertifikat dari Ditjen Perkeretaapian. Proses sertifikasi sendiri sudah dimulai pertengahan 2009. Namun, tetap saja kecelakaan kereta dengan korban tewas masih terjadi.

Lantas, apa lagi yang harus dibenahi? Ada baiknya Indonesia belajar dari India. Berdasarkan pengalaman Indian Railway atau IR, negara ini jauh lebih siap dalam soal keselamatan. Dalam Corporate Safety Plan 2003-2013 yang ditandatangani Menteri Perkeretaapian Nitish Kumar, sangat terlihat jelas visi dan misi peningkatan keselamatan.

IR mengerti apa yang harus dikerjakan dalam 10 tahun ke depan. Guna mereduksi 60 persen kereta anjlok, IR mengganti rel dan memperbaiki konstruksi 120 ribu jembatan kereta. Kemudian, tabrakan kereta sama sekali dihilangkan dengan memasang Anti-Collision Device (ACD) yang bekerja dengan panduan GPS.

Selain itu, IR juga membuat Accident Manual Book. Buku saku itu berisikan pedoman penanganan setiap kecelakaan, berikut cara menyelidikinya. Tertera seluruh nama pejabat berikut nomor telepon. Tak hanya nomor kantor, tapi juga nomor rumah dan nomor telepon seluler atau ponsel. Pejabat kereta api mana pun takkan mampu bersembunyi bila ada kecelakaan. Target menuju zero accident atau tanpa kecelakaan dijabarkan secara kuantitatif.

Berdasarkan data, kereta api IR anjlok 282 kali dalam setahun ditargetkan turun menjadi 113 anjlok pada 2012-2013. Bila rata-rata satu tahun terjadi 22 kali tabrakan kereta, maka pada 2012-2013 ditargetkan nol kejadian. Target kuantitatif menjadikan upaya keselamatan menjadi terukur, sekaligus realistis.

Lalu, mengapa harus meributkan kecelakaan kereta di Indonesia yang baru menyentuh angka 112 kejadian per tahun. Bukankah jumlah itu lebih sedikit dibanding India? Memang benar. Tapi, Indonesia hanya memiliki 4.675 kilometer jalan rel dan mengangkut 0,46 juta orang per hari. Bandingkan dengan India yang mengelola 63 ribu kilometer jalan rel dan mengangkut 14 juta orang per hari.

Karena itu, kata Taufik, untuk membenahi kereta api di Indonesia, harus dikerjakan dengan serius. "Urusan kereta tak sekadar urusan komersial, tak sekadar laporan keuangan. Ini ada urusan teknis, ada urusan teknologi. Ada urusan masinis, hingga sinyal yang belum beres, kata dia.

Ia pun mengecam pemerintah yang selalu mengatakan ingin membantu perkeretaapian, tapi minim aksi. "Bila ingin membantu kereta, ya bantu PT Kereta Api, memangnya ada perusahaan kereta lain di Indonesia," ujar Taufik. "Saya hanya meminta, korban yang sudah meninggal tidak sia-sia pengorbanannya. Itu saja."(BOG/ANS/dari berbagai sumber)