Sukses

Mendagri: Presidential Threshold Agar Presiden Tak Disandera DPR

Belajar dari pengalaman tiga pilpres terakhir, presiden terpilih tersandera masalah politik di DPR.

Liputan6.com, Jakarta - Tensi politik belum juga reda terkait pembahasan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dalam revisi Undang-Undang Pemilu di DPR. Sebagian kalangan menilai penerapan presidential threshold hanya menguntungkan pihak tertentu.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, tudingan dan kecurigaan terhadap pemerintah terkait angka presidential threshold tidak benar. Pemerintah justru ingin membangun sistem politik yang lebih sehat dan lebih adil bagi partai politik.

"Presidential threshold menciptakan sistem politik lebih adil bagi partai-partai serta mendorong terbangunnya konsolidasi politik yang lebih sehat dan kondisi politik stabil," kata Tjahjo melalui pesan singkatnya, Selasa (27/6/2017).

Belajar dari pengalaman tiga pemilihan presiden terakhir, yakni 2004, 2009, dan 2014, presiden terpilih justru didukung oleh parlemen kurang dari 50 persen plus 1. Hal ini kerap membuat presiden terpilih tersandera masalah politik.

"Sehingga presiden terpilih terpaksa harus melakukan konsolidasi politik dengan parpol atau kekuatan politik yang tidak ikut berkeringat memperjuangkan terpilihnya capres yang bersangkutan," imbuh politisi PDIP itu.

Lebih parahnya lagi, karena disibukkan dengan urusan politik seperti itu, presiden justru tidak bisa langsung bekerja. Program dan janji semasa kampanye terus disandera kekuatan politik sampai konsolidasi selesai dilakukan.

"Padahal, percepatan pembangunan di segala bidang hanya dapat dilakukan jika ditopang oleh stabilitas politik yang cukup," Tjahjo memungkas.










Saksikan video menarik di bawah ini: