Liputan6.com, Jakarta DPRD DKI tengah membahas penetapan kenaikan tunjangan pimpinan dan anggotanya, yang membuat mereka menerima Rp 80 juta per bulan. Rencana penambahan tunjangan ini pun menuai kontroversi.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, kenaikan tunjangan idealnya merupakan bentuk apresiasi terhadap kinerja DPRD DKI. Namun saat ini belumlah tepat.
"Kenaikan tunjangan DPRD ini diambil pada saat DPRD sendiri tak bisa membuktikan kerja mereka untuk kepentingan rakyat. Hanya karena mereka kompak mengeluh, pemerintah merespons dengan mengeluarkan PP 18/2017," ucap Lucius kepada Liputan6.com, Selasa (11/7/2017).
Advertisement
"Padahal kita tahu politikus di era pragmatis kita saat ini, pasti akan selalu mengeluh berkekurangan. Karena mereka mengandalkan uang dan bukan kinerja, agar mendapatkan simpati dari rakyat," dia melanjutkan.
Menurut Lucius, sama sekali tak ada jaminan bahwa kenaikan anggaran akan membantu meningkatkan kinerja DPRD. Masalah selama ini bukan melulu karena terbatasnya anggaran, tetapi karena mental anggota dewan yang malas hingga membuat kinerja mereka selalu rendah.
"Jadi urgensi yang dijadikan alasan bagi kenaikan tunjangan, yakni untuk meningkatkan kinerja sama sekali mengada-ada. Tak ada bukti bahwa dalam kondisi anggaran yang memadai, DPRD akan lebih digdaya dalam bekerja. Kan penyusunan Perda tak pernah kekurangan anggaran, lalu kenapa Perda yang dihasilkan terbatas?" dia menanyakan.
Jadi, kata Lucius, alih-alih membantu mendorong perbaikan kinerja DPRD DKI, kebijakan penambahan tunjangan ini malah bisa merusak kinerja anggota dewan.
"Dengan semakin banyaknya uang yang diterima, anggota DPRD merasa tak ada tantangan. Mereka bisa seenaknya bekerja. Apalagi di PP juga sudah diberi kelonggaran dalam hal pertanggung jawaban. Jadi uang ini benar-benar dana segar yang bisa dipakai untuk apa saja, termasuk untuk urusan yang sangat personal," Lucius menandaskan.
Saksikan video menarik berikut ini: