Sukses

UU Penyiaran Baru Harus untuk Kepentingan Publik

KPI berharap pembahasan RUU penyiaran tidak berlarut-larut dan dapat segera diselesaikan untuk disahkan.

Liputan6.com, Jakarta - Menyikapi dinamika atas hadirnya draf Undang-Undang Penyiaran yang dibahas oleh Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga negara, yang lahir dari UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan bertugas mengatur hal-hal yang terkait dengan penyiaran, mempunyai pandangan sebagai berikut:

1. KPI menilai kehadiran Undang-Undang Penyiaran yang baru menjadi sebuah kemestian, mengingat undang-undang yang ada saat ini sudah tidak dapat mengakomodasi perkembangan teknologi informasi terbaru, sehingga muncul problematika di dunia penyiaran.

Untuk itu, mengingat isu revisi undang-undang (RUU) ini sudah bergulir sejak 2010, KPI berharap pembahasan RUU penyiaran tidak berlarut-larut dan dapat segera diselesaikan untuk disahkan.

2. Masalah digitalisasi yang ditengarai menjadi penyebab kemacetan pembahasan RUU ini, merujuk pada rekomendasi Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI 2014, KPI berpendapat, apa pun pilihan terhadap pengelolaan penyiaran digital, harus mengedepankan prinsip keadilan, kesetaraan, dan efisiensi yang menjadi tujuan utama dari migrasi digital.

Efisiensi tersebut diharapkan menghasilkan digital deviden yang dapat dialokasikan untuk penyediaan internet broadband, guna pemenuhan hak masyarakat Indonesia akan informasi.

3. Eksistensi Komisi Penyiaran Indonesia sebagai representasi publik, perlu diperkuat dalam undang-undang penyiaran yang akan datang.

Penguatan itu meliputi perluasan kewenangan di bidang isi siaran, serta tetap melibatkan KPI di dalam seluruh proses penataan infrastruktur penyiaran untuk mengontrol kaidah pokok demokratisasi penyiaran, yakni keberagaman kepemilikan (diversity of ownership).

4. Sebagai representasi publik, maka KPI harus masuk dalam Badan Migrasi Digital, yang dalam draf RUU yang dibahas Baleg DPR hanya terdiri atas pemerintah, organisasi lembaga penyiaran, dan pemangku kepentingan.

KPI juga mengkritisi keberadaan Organisasi Lembaga Penyiaran (OLP) dalam proses regulasi, seperti Badan Migrasi Digital dan Panel Ahli dalam penjatuhan sanksi.

KPI menilai, kehadiran OLP pada proses tersebut akan menimbulkan kesimpangsiuran antara operator dan regulator. Meski demikian, sekalipun harus ada pembatas yang tegas regulator dan OLP, tentunya regulator tetaplah harus mempertimbangkan aspirasi OLP sebagai operator.

Mengenai keberadaan OLP dalam Panel Ahli, KPI melihat adanya potensi konflik kepentingan antara regulator dan operator, karena OLP adalah obyek yang akan dikenai sanksi.

5. KPI menilai RUU harus memperkuat keberadaan Sistem Stasiun Jaringan (SSJ). Implementasi SSJ merupakan bagian dari penerapan prinsip demokratisasi penyiaran, yang mensyaratkan adanya diversity of content dan diversity of ownership.

SSJ juga menjadi usaha memperkuat kebinekaan dengan merepresentasikan masyarakat, budaya, dan mengangkat perekonomian pada setiap daerah.

Konsep cross culture yang diajukan dalam RUU yang diusulkan Baleg DPR ini, mengaburkan tujuan dari SSJ tersebut. Bahkan konsep cross culture dalam SSJ berpotensi melanggengkan kondisi sekarang, saat siaran Jakarta mendominasi seluruh wajah stasiun televisi jaringan, dan produksi siaran lokal yang seharusnya dapat menyerap SDM lokal pun tereduksi.

6. Batasan siaran iklan sebanyak maksimal 30 persen, menurut KPI, dapat mengganggu kenyamanan publik sebagai pemilik frekuensi. Selain itu, meningkatnya proporsi siaran iklan, berdampak pula pada keadilan ekonomi pada televisi lokal.

KPI menilai, harus ada distribusi iklan yang merata pada masing-masing lembaga penyiaran, tidak terpusat pada lembaga penyiaran tertentu saja.

Mengenai iklan rokok, KPI mendukung rumusan yang diajukan oleh Komisi I DPR yang telah lebih dahulu dibuat sebelum pembahasan di Baleg DPR RI.

 

Saksikan video berikut ini: