Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan proyek Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).
Menanggapi penetapan tersangka terhadap kadernya itu, Partai Golkar pun mempertimbangkan melakukan praperadilan.
Rencana praperadilan itu akan dibahas DPP Partai Golkar hari ini, Selasa (18/7/2017), dalam sebuah rapat pleno di Kantor DPP, Slipi, Jakarta Barat.
Advertisement
"Akan diputuskan dalam rapat pleno besok (hari ini) tentang langkah hukum yang diambil, termasuk praperadilan. Boleh jadi ada langkah hukum lain," tutur Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham di kediaman Novanto, Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta, Senin 17 Juli 2017 malam.
Namun sebelum benar-benar mengambil tindakan itu atau lainnya, partai Golkar terlebih dulu menunggu surat resmi penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Dari bidang hukum DPP Partai Golkar kami minta untuk segera mendapatkan surat penetapan tersangka terhadap Novanto. Setelah itu baru akan dilakukan kajian," ujar dia.
Untuk rapat pleno hari ini, Idrus mengatakan, pihaknya telah mengundang seluruh jajaran pengurus Partai Golkar.
KPK menetapkan Ketua DPR yang juga Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi proyek e-KTP Senin malam, 17 Juli 2017.
"Setelah mencermati fakta persidangan Irman dan Sugiharto terhadap kasus e-KTP tahun 2011-2012 pada Kemendagri, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seorang lagi sebagai tersangka. KPK menetapkan SN, anggota DPR sebagai tersangka dengan tujuan menyalahgunakan kewenangan sehingga diduga mengakibatkan Negara rugi Rp 2,3 triliun," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK, Jakarta, Senin 17 Juli 2017.
Agus mengungkapkan, Novanto diduga merugikan keuangan negara Rp 2,3 triliun dari nilai proyek e-KTP sebesar Rp 5,9 triliun.
Atas perbuatannya, Setya Novanto disangka melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Setya Novanto sebelumnya tegas membantah dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) dalam dugaan korupsi e-KTP.
Novanto menegaskan, tidak pernah bertemu Muhammad Nazaruddin, Anas Urbaningrum, dan pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong. Dia juga dengan tegas mengatakan, tidak pernah menerima apa pun dari aliran dana e-KTP.
"Saya tidak pernah mengadakan pertemuan dengan Nazaruddin bahkan menyampaikan yang berkaitan dengan e-KTP. Bahkan, saya tidak pernah menerima uang sepeser pun dari e-KTP," ujar Setya Novanto usai menghadiri Rakornas Partai Golkar di Redtop Hotel, Jakarta, Kamis 9 Maret 2017.
Saksikan video menarik di bawah ini: