Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menetapkan Setya Novanto atau Setnov sebagai tersangka setelah berulang kali lolos dari jeratan hukum. Orang nomor satu di DPR itu dinilai berperan aktif mengatur lelang proyek E-KTP sebesar Rp 5,9 triliun.
Seperti ditayangkan Kopi Pagi dalam Liputan6 Pagi SCTV, Minggu (23/7/2017), Setnov dan sejumlah anggota DPR periode 2009-2014 dianggap menyalahgunakan wewenang, memainkan pengaruhnya, sehingga proyek E-KTP menjadi berantakan. Dananya menguap ke mana-mana. Negara pun dirugikan rp 2,3 triliun.
Masyarakat pun sontak tersentak. Terlebih, ini bukan kali pertama petinggi di lembaga tinggi negara merugikan negara.
Advertisement
Sebelumnya, mantan ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar juga berurusan dengan KPK. Akil yang juga mantan politisi Golkar terbukti menerima suap dalam kasus sengketa pilkada untuk sejumlah daerah. Di antaranya Lebak, Palembang, Lampung Selatan, Pulau Morotai, dan Gunung Mas.
Hakim kemudian menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada Akil. Namun, dia tidak diwajibkan membayar denda Rp 10 miliar seperti tuntutan jaksa karena dianggap telah dijatuhi hukuman maksimal.
Bukan hanya Akil, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman juga tersandung kasus suap. Senator asal Sumatera Barat ini terbukti menerima uang Rp 100 juta dari pihak swasta untuk mengatur pemberian kuota gula impor dari Perum Bulog. Jika sukses, Irman bakal mendapat fee Rp 300 per kilogram dari gula yang dipasok.
Atas persekongkolan jahat inilah Irman kemudian divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Hak politiknya juga dicabut selama tiga tahun.
Sebenarnya, bukan kali ini saja Setnov tersandung perkara hukum. Namanya pernah disebut terlibat kasus piutang Bank Bali ke BDNI pada tahun 1999. Empat tahun kemudian, dia juga disebut tidak membayar pajak ketika menjadi importir beras sehingga merugikan negara lebih dari Rp 23 miliar.
Tidak berhenti di situ. Nama Setnov lagi-lagi tersangkut dalam kasus korupsi. Kali ini untuk proyek penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) di Riau. Namun keterlibatannya seakan menguap sampai akhirnya dia dikabarkan meminta saham PT Freeport.
Namun, sekali lagi, tidak satu pun kasus yang bisa membuktikan Setnov terbukti bersalah secara hukum. Tapi, kali ini KPK mempunyai pertimbangan berbeda.
Kesaksian terdakwa Irman dan Sugiharto, dua mantan pejabat di Kemendagri, di persidangan menjadi fakta sekaligus pintu masuk KPK untuk membuktikan keterlibatan Setnov dalam kasus proyek E-KTP.
Mantan ketua fraksi Partai Golkar itu disebut menerima uang suap Rp 574 miliar. Hal itu pula yang membuat Setnov harus mondar-mandir diperiksa KPK.
Bolak balik diperiksa, berulang kali pula Setnov membantah. Bahkan, dia berani bersumpah tidak pernah menerima aliran dana proyek E-KTP seperti yang disangkakan.
Bantahan bukan hanya disampaikan Setnov. Sejumlah anggota DPR tiba-tiba juga membentuk Pansus Hak Angket KPK. Mereka seperti terusik ketika sejumlah nama anggota dewan juga disebut kebagian suap proyek E-KTP.
Kinerja KPK langsung dipertanyakan, dikritisi, dan dianggap melampuai wewenang. Bukan hanya itu, mereka juga mendatangi LP Sukamiskin Bandung untuk menemui sejumlah tahanan kasus korupsi yang pernah ditangani KPK.
Bagi mereka, pasti ada yang keliru dalam penanganan kasus korupsi E-KTP. Untuk itu, Setnov tidak perlu mundur dari jabatannya karena dianggap belum tentu bersalah dan belum juga berstatus terdakwa. Sikap inilah yang kemudian dikomentari banyak orang di minggu ini.