Liputan6.com, Jakarta - Dosen Fakultas Hukum Universitas Monash Australia, Nadirsyah Hosen angkat bicara soal Perppu Ormas yang diterbitkan pemerintah Indonesia. Menurutnya, Perppu Ormas jangan dijadikan alat politik untuk menyerang Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Usai penerbitan Perppu Ormas, banyak pihak menilai pemerintah melanggar hak azasi manusia (HAM). Ia menjelaskan, kewajiban pemerintah menjamin HAM terpenuhi, yang tidak hanya meliputi hak sosial dan berpendapat.
"Jadi Perppu ini memproteksi pilar bangsa. Jangan hanya menjelekkan Presiden Jokowi. Mengkritik Pak Jokowi itu bebas, tapi kalau yang diancam itu Pancasila, UUD 45, Bhineka, dan NKRI, pemerintah tak boleh gamang," ucap Nardisyah.
Advertisement
Hal itu disampaikan dia dalam diskusi Ngobrol Bareng "Merawat Keindonesiaan, Tolak Radikalisme, Lawan Intoleransi," di Jakarta, Minggu (23/7/2017).
Nardisyah mengaku tak habis pikir dengan sikap para politikus di Senayan DPR, yang seakan-akan memberikan dukungan kepada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ia mengatakan, aktivitas yang dilakukan HTI sudah ingin menegakan khilafah.
"Para pemain politik ini kelihatan hanya menyerang Jokowi dan membela HTI. Kalau Khilafah berdiri, jika ada suara berbeda, itu dipenggal kepalanya," ungkap dia.
Nadirsyah menjelaskan, terbitnya Perppu Ormas tidak menghalangi proses hukum. "Mau di pengadilan di depan atau belakang, itu sama saja. Kita sudah demokrasi. Selama HTI tidak seperti eks tapol di zaman Soeharto, itu sudah demokrasi," tegas Nardisyah.
Rois Syuriah PCINU (Pimpinan Cabang Istimewa Nadhatul Ulama) Australia dan New Zealand itu mengharapkan, pemerintah juga harus melakukan intervensi sosial dan budaya.
"Misalnya, pengaruh gerakan Islam di kampus, maka intervensi budaya dan sosial dilakukan. Revolusi mental juga harus terus dilakukan," tandas Nardisyah.
Â
Saksikan video di bawah ini: