Sukses

UU Pemilu Digugat ke MK Meski Belum Diberi Nomor

Wakil Ketua ACTA lainnya Hendarsam Marantoko menilai, ambang batas presiden 20-25% akan mempermudah presiden tersandera partai politik.

Liputan6.com, Jakarta - Belasan orang yang tergabung dalam Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) hari ini menyambangi Mahkamah Konstitusi (MK), untuk mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Pemilu yang baru disahkan. Mereka menguji terkait presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden.

UU Pemilu tersebut diujimaterikan oleh kader Partai Gerindra Habiburokhman. Dia juga merupakan Ketua Dewan Pembina ACTA.

"Hari ini kami mendaftarkan permohonan uji materi UU Pemilu 2017. Kami menganggap Pasal 222 UU Pemilu yang mensyaratkan parpol atau gabungan parpol pengusung calon presiden atau wakil presiden mempunyai setidaknya 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional pemilu sebelumnya, bertentangan dengan Pasal 4, Pasal 6A, Pasal 28D ayat 1 dan ayat 3 UUD 1945," kata pengacara Habiburokhman sekaligus Wakil Ketua ACTA Agustyar, di Jakarta, Senin (24/7/2017).

Wakil Ketua ACTA lainnya Hendarsam Marantoko mengatakan, selain bertentangan dengan UUD 1945, ambang batas presiden 20-25% akan mempermudah presiden tersandera partai politik. Sehingga, bisa saja bagi-bagi jabatan kepada politikus dari partai pendukung.

Selain itu, kata Hendarsam, tidak ada ketentuan embel-embel berapa perolehan kursi parlemen atau suara sah nasional pemilu sebelumnya di UUD 1945 Pasal 6A.

"Ketentuan tersebut diperkuat dengan fakta tidak adanya ketentuan bahwa pembuat undang-undang berwenang membuat aturan yang mengatur soal persyaratan lebih jauh, partai pengusul calon presiden," ujar dia.

Di lain sisi, Hendarsam menyebutkan, adanya ambang batas presiden 20-25%, juga dinilai akan menimbulkan diskriminasi pada parpol peserta pemilu, yang seharusnya semua berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

"Parpol yang baru pertama akan ikut pemilu dan parpol yang perolehan suara pada pemilu sebelumnya tidak sampai 20%, kehilangan hak untuk dapat mengusulkan capres dan cawapres," kata dia.

"Jadi petitum utama kami adalah memohon agar majelis hakim MK dapat menyatakan Pasal 222 UU Pemilu 2017, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," Hendarsam menegaskan.

Tanpa Nomor

UU Pemilu baru disahkan oleh DPR pada Jumat dini 21 Juli 2017, dan belum ditandatangani Presiden serta didaftarkan Lembar Negara (LN). Sehingga belum diberikan nomor. Kendati, menurut Habiburokhman tak masalah.

"Secara administrasi belum ada LN. Tapi secara prinsip konten pasal itu enggak berubah. Kita tak ingin buang waktu. Jadi daftar dulu kalau ada perbaikan nanti permohonan kita masukan nomornya," ujar dia.

Habiburokhman mengatakan, meski sebagai kader Partai Gerindra, pengajuan uji materi UU Pemilu atas nama warga negara Indonesia.

"Saya kan kader, tentu apa yang saya lakukan enggak bertentangan dengan kebijakan politik Gerindra. Kalau koordinasi, saya tiap hari. Tapi enggak hanya soal ini. Jadi arahan teknis tidak. Toh sama idenya," Habiburokhman menandaskan.

 

Saksikan video menarik berikut ini: