Sukses

MK: UU yang Belum Masuk Lembaran Negara Tidak Bisa Diuji Materi

Karena belum masuk Lembaran Negara, uji materi UU Pemilu akan sulit dilanjutkan, bahkan sampai tahapan putusan.

Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo atau Jokowi masih belum menandatangani Undang-Undang (UU) Pemilu yang baru hasil revisi. Hal ini membuat UU Pemilu tersebut belum diberikan nomor dan masuk ke dalam Lembaran Negara. Meski demikian, sudah ada yang melakukan uji materi terhadap UU tersebut.

Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono mengatakan, memang secara teori undang-undang yang baru saja disahkan di Paripurna DPR itu secara materiil sudah jadi produk hukum. Tapi secara formil belum memiliki syarat.

"Kewenangan MK menguji undang-undang dengan UUD, bukan RUU. Tetapi secara praktik MK pernah menerima perkara serupa," kata Fajar di kantornya, Jakarta, Senin (24/7/2017).

Meski demikian, dia menuturkan, kepaniteraan MK tidak bisa menolak perkara yang masuk. Artinya, MK bisa saja menerima permohonan kemudian verifikasi berkas.

"Permohonan kalau belum lengkap, belum ada objek gugatan, belum ada UU apa yang diuji, itu dinyatakan akta permohonan belum lengkap. Kita pernah punya preseden begitu," jelas Fajar.

Meski mempunyai pengalaman seperti itu, dia kembali memberi sinyal, perkara tersebut akan sulit dilanjutkan, bahkan sampai tahapan putusan.

"Karena tidak bisa putus, tidak bisa tindak lanjuti. Ini materiil walaupun sudah disempurnakan di DPR. Tetapi secara formil belum ada bentuk hukum," pungkas Fajar.

Sebelumnya, belasan orang yang tergabung dalam Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) hari ini menyambangi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Pemilu yang baru disahkan. Mereka menguji terkait presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden.

UU Pemilu tersebut diujimaterikan oleh kader Partai Gerindra Habiburokhman. Dia juga merupakan Ketua Dewan Pembina ACTA.

"Hari ini kami mendaftarkan permohonan uji materi UU Pemilu 2017. Kami menganggap Pasal 222 UU Pemilu yang mensyaratkan parpol atau gabungan parpol pengusung calon presiden atau wakil presiden mempunyai setidaknya 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pemilu sebelumnya, bertentangan dengan Pasal 4, Pasal 6A, Pasal 28D ayat 1, dan ayat 3 UUD 1945," kata pengacara Habiburokhman sekaligus Wakil Ketua ACTA Agustyar, di Jakarta, Senin (24/7/2017).

 

Saksikan video menarik di bawah ini: