Potret Menembus Batas : Mencari Ibukota

Liputan6.com, Palangka Raya Jakarta. Ruang dan waktu jadi perkara mahal di daerah khusus ibu kota. Hal ini dirasa betul oleh keluarga Sidiq di rumah kontrakan sepetak lurus 3 X 6 meter nyaris tanpa sekat kamar.

Terbatas ruang gerak, Sidiq dan tujuh anggota keluarganya dituntut bersiasat termasuk saat mengantre kamar mandi. Pagi tengah pekan, pagi penuh kesibukan Sidiq paham berleha-leha bakal ditelan roda sengit kehidupan megapolitan. Di jalan Sidiq harus berhitung dengan segala kemungkinan. Sebab simpul kusut kemacetan lalu lintas tak bisa ditebak.

Butuh waktu satu jam lebih untuk tujuh kilometer Jarak Senen dan tempat kerja di Pulo Gadung. Jakarta wilayah seluas 662 kilometer persegi ini disesaki 10 juta jiwa. Angka bertambah di siang hari menjadi lebih dari 13 juta jiwa.

Macet jadi problematika yang lumrah. Banjir di musim penghujan jadi hal biasa. Metropolitan terpadat kesembilan di dunia versi World Economic Forum ini dianggap tak lagi ideal.

Bahkan sudah pada tingkat mengkhawatirkan. Wacana pemindahan ibu kota kembali berembus. Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan menjadi nominasi bermukimnya pusat pemerintahan negeri.

Palangka Raya nama yang kian mengemuka ketika wacana pemindahan ibukota semakin membahana. Kota yang berbanding terbalik dengan hingar bingar Jakarta.

Seni dan budaya jati diri utama pembentuk karakter warga Palangka Raya. Presiden Sukarno memancangkan tiang pertama pembangunan Palangka Raya ibu kota provinsi Kalimantan Tengah pada 17 Juli 1957. Di kota ini, Sukarno mendesain master plan kota yang memadukan transportasi darat dan Sungai Kahayan sebagai pusat orientasi.

Mimpi yang kemudian tak pernah terwujud. Mimpi Sukarno kembali mengemuka di pemerintahan Presiden Joko Widodo. Akan tetapi, seiring 60 tahun berlalu Palangka Raya dianggap sudah tak lagi model yang ideal buat ibu kota.

Saksikan Mencari Ibukota selengkapnya yang ditayangkan Potret Menembus Batas, Senin (7/8/2017).