Liputan6.com, Jakarta - Kabar mengejutkan datang dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi pimpinan Agus Rahardjo itu mengungkap kematian saksi kunci kasus e-KTP, Johannes Marliem. Dia meninggal dunia di Los Angeles, Amerika Serikat.
Timbul kekhawatiran kasus ini tak akan terungkap secara tuntas tanpa kehadiran Marliem. Padahal, KPK pernah menyebut korupsi e-KTP merupakan salah satu kasus paling rumit yang pernah ditangani.
Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebut tewasnya saksi kunci kasus e-KTP, Johannes Marliem, dapat menghambat kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam membongkar perkara yang banyak menyeret nama politisi besar di Indonesia.
Advertisement
Peneliti ICW Donal Fariz curiga ada upaya sistematis dalam melawan KPK. Upaya ini dimulai dari penyerangan terhadap Kasatgas Kasus e-KTP hingga kematian Marliem.
"Kematian JM (Johannes Marliem) semakin menunjukkan upaya menghambat dalam kasus e-KTP. Ini bentuk sistematis untuk melawan dan menghambat KPK dalam membongkar skandal yang diduga melibatkan banyak politikus," ujar Donal saat dihubungi Liputan6.com di Jakarta, Sabtu 12 Agustus 2017.
Lantas, apa peran Marliem hingga disebut sebagai saksi kunci dalam kasus megakorupsi e-KTP?
Johannes Marliem dalam surat dakwaan milik terdakwa Irman dan Sugiharto, disebut pernah bertemu Diah Anggraini, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Husni Fahmi, dan Chaeruman Harahap.
Pertemuan tersebut terjadi pada Oktober 2010 di Hotel Sultan, Jakarta. Saat itu, Sekjen Kemendagri Diah Anggraini memperkenalkan terdakwa Irman dan Sugiharto kepada Johannes Marliem selaku provider produk Automated Finger Print Identification Sistem (AFIS) merek L-1.
Produk tersebut akan dipergunakan dalam proyek penerapan KTP berbasis NIK secara nasional atau e-KTP.
Johannes Marliem pun diarahkan Irman untuk berhubungan dengan ketua tim teknis, yakni Husni Fahmi. Dia juga pernah bertemu Tim Fatmawati.
Dalam surat dakwaan, Johannes Marliem juga disebut memberikan uang sejumlah USD 200 ribu kepada terdakwa Sugiharto di Mall Grand Indonesia Jakarta. Uang tersebut oleh Sugiharto dibelikan mobil Honda Jazz.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK mengatakan uang yang diberikan oleh Johannes Marliem adalah bagian dari keuntungan yang didapat dari proyek e-KTP, yaitu sejumlah USD 16 ribu dan Rp 32 juta.
Saat kasus e-KTP bergulir, Johannes Marliem sudah berada di Amerika Serikat. Dia adalah Direktur Biomorf Lone LLC, Amerika Serikat.
Marliem disebut sebagai saksi kunci, karena memiliki bukti pembicaraan dengan para penggarap proyek e-KTP.
Tak hanya itu, Johannes Marliem juga memiliki bukti rekaman pertemuannya dengan Ketua DPR RI Setya Novanto. Sementara Novanto sendiri telah membantah keterlibatan dalam korupsi e-KTP.
Jalan Terus
KPK sendiri memastikan penanganan kasus e-KTP yang telah merugikan negara Rp 2,3 triliun tetap berjalan. Walaupun, rekaman yang dimiliki Johannes Marliem belum berada di tangan KPK. Penyidik KPK akan mengikuti lika-liku kasus ini hingga ke akarnya.
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang memastikan, tewasnya saksi kunci e-KTP, Johannes Marliem, tak akan menghambat proses penanganan perkara yang sedang berlangsung.
"Saya pribadi 99,9 persen yakin kita tidak terpengaruh dengan kasus yang sedang kita tangani," kata Saut kepada Liputan6.com di Jakarta, Sabtu 12 Agustus 2017.
Dia berharap agar seluruh pihak tidak mengganggu proses penanganan kasus yang merugikan negara Rp 2,3 triliun ini.
"Harapan kita semua agar membantu (menyelesaikan kasus e-KTP) biar negara kita cepat sejahtera dan memiliki daya saing. Semua kita harus jujur, baru jadi negara hebat," ujar Saut.
Hal tersebut juga ditegaskan oleh Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
"Dalam konteks penanganan perkara proses penyidikan (kasus e-KTP) terus berjalan. KPK akan jalan terus dengan tersangka SN (Setya Novanto) atau MN (Markus Nari). Kita terus dalami bukti-bukti," ujar Febri di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.
Advertisement
Penyebab Kematian
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum sempat memeriksa Johannes Marliem, saksi kunci kasus e-KTP. Namun, KPK mendapatkan kabar yang bersangkutan meninggal dunia.
KPK pun masih menunggu informasi dari kepolisian Amerika Serikat (AS) untuk mengungkap penyebab tewasnya saksi kunci kasus e-KTP, Johannes Marliem.
"Saya pribadi tahu dari media, itu sebabnya masih akan dikonfirmasi ulang. Tapi karena ada kaitannya dengan kasus yang kita tangani (kasus e-KTP), kita tunggulah yang bersangkutan tewas karena apa," ujar Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.
Menurut dia, Johannes Marliem adalah warga negara asing (WNA) sehingga yang memiliki kewenangan untuk menyelidiki kasus tersebut adalah kepolisian AS.
"Karena yang bersangkutan bukan warga negara Indonesia. Kita tunggulah perkembangannya seperti penyebabnya," kata Saut.
Dia percaya kepolisian AS mampu mengungkap penyebab kematian Marliem. Terlebih sistem penyelidikan dan penyidikan di negara tersebut sudah terjamin.
"Sistem di negara itu (Amerika Serikat) sudah tertata dengan baik. Kita tunggu saja hasil pemeriksaan pihak AS," ucap Saut.
Namun, KPK berharap pihak AS dapat memberikan informasi yang didapatkan baik dari hasil autopsi Johannes Marliem atau lainnya. Hal ini untuk mengetahui penyebab kematian Johannes Marliem berkaitan dengan penanganan perkara e-KTP atau tidak.
"Saya kira mereka paham apa (yang harus dilakukan) dan seperti apa bekerja dengan aparat penegak hukum negara lainnya," jelas Saut.
Sebelumnya, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Basaria Panjaitan pernah menyebut dugaan korupsi terkait proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik atau E-KTP sebagai kasus yang rumit. Sampai awal 2017, baru dua orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
"Agak pelik memang ini kasus. Di samping sudah lama, orang-orangnya sudah pensiun," kata Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan, di Jakarta, Rabu 16 November 2016.
Kasus ini juga diiringi dengan drama penyerangan Ketua Satuan Tugas Penyidikan Kasus e-KTP, Novel Baswedan. Wajah Novel disiram menggunakan air keras oleh orang tak dikenal, usai salat subuh di masjid yang terletak tak jauh dari rumahnya, Selasa 11 April 2017.
Namun, sedikit demi sedikit, penyidik berhasil mengurai benang kusut kasus tersebut. Lalu, akankah penyidik kembali mengalami jalan buntu?
Saksikan video berikut ini: