Sukses

Kala Intel Kuntit Bung Karno di Pengasingan Ende

Di Ende, Bung Karno tidak bebas bergerak. Ada sejumlah polisi pemerintahan Hindia Belanda yang senantiasa memantaunya.

Liputan6.com, Jakarta - Semangat berjuang Sukarno kembali menggelora usai menghirup udara bebas dari Penjara Sukamiskin,  Bandung, 31 Desember 1931. Bersama tokoh pro kemerdekaan, ia menyusun strategi agar Indonesia keluar dari penindasan bangsa penjajah, Belanda.

Selama sekitar tiga tahun Bung Karno bergerak. Dia ingin negeri ini merdeka dan terbebas dari perbudakan. Tak boleh ada lagi penindasan dan darah segar pejuang menetes di tanah Ibu Pertiwi.

(Ikuti "Jejak Pejuang di Kota Pembuangan" di sini.)

Namun, gerakan itu membuat pemerintah Hindia Belanda gerah. Bung Karno lagi-lagi diciduk. Pasukan kompeni lantas membawa Putra Sang Fajar itu jauh dari Pulau Jawa. Ia dibuang ke Pulau Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Menumpangi kapal Jan van Riebeeck, Sukarno yang kala itu berusia 35 tahun berlayar dari Jakarta menuju kawasan timur Indonesia. Delapan hari dia mengarungi lautan. Tepat pada 14 Februari 1934, Sukarno akhirnya menginjakkan kaki di Ende. Belanda memilih tempat ini agar Sukarno terisolasi dan jauh dari kegiatan politik serta rekan-rekan seperjuangan di Pulau Jawa.

Ende, disebutkan Sukarno kepada wartawati Cindy Adams, memiliki penduduk tidak lebih dari 5.000 orang. Mereka masih terbelakang dengan mata pencaharian sebagai nelayan dan petani kelapa. Kala musim hujan tiba, terjadi kubangan lumpur yang becek. Setelah matahari bersinar, lumpur itu mengeras dan jalan memiliki lubang dan alur baru. 

Selama empat tahun, hingga 1938, Bung Karno menjadi tahanan politik di sana. Tak ada telepon dan kantor telegraf yang bisa digunakan untuk menjalin komunikasi dengan dunia luar.

"Satu-satunya hubungan dengan dunia luar hanyalah lewat dua buah kapal pos yang masing-masing datang sekali sebulan. Dua kali dalam sebulan, kami menerima surat-surat dan surat kabar dari luar," cerita Sukarno kepada Cindy Adams dalam buku Bung Karno Penyambung Rakyat Indonesia.

Di pengasingan, Sukarno menempati rumah sangat sederhana milik Abdullah Ambuwaru di kawasan Ambugaga, kampung kecil yang terdiri dari pondok-pondok beratap ilalang. Rumah itu tanpa listrik dan air ledeng. Bahkan untuk mandi, Bung Karno membawa sabun ke sungai yang mengalirkan air dingin dengan di tengahnya bongkahan batu besar.

Untuk kebutuhan makan sehari-hari, Bung Karno yang tinggal bersama istrinya, Inggit Garnasih, juga mertua Amsih jauh dari menu istimewa. Dalam meja makan, tersaji nasi, sayur, terkadang ayam atau telur dan sedikit ikan asin.

"Sayuran berasal dari kebun yang kutanam di samping rumah, ikan dari kawan-kawanku para nelayan," ungkap Sukarno.

Saksikan video menarik di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Dikuntit Intel

Sebagai manusia biasa, Bung Karno mengungkapkan kegundahan hatinya kala menghadapi pengasingan tersebut. Ketiadaan kawan membuat hari-hari pertamanya di Flores serupa penyiksaan. Dia mengaku tidak bebas bergerak. Ada sejumlah polisi pemerintahan Hindia Belanda yang memantaunya. Mereka tidak mengenakan seragam namun dapat diketahui dari gegalatnya.

"Kalau ada seorang Belanda misterius selalu berada pada jarak sekitar 60 meter di belakangku, aku dapat memastikan dia adalah polisi," ungkap Bung Karno.

Sukarno menuturkan, ada kejadian unik kala intel membuntutinya. Saat itu, ia tengah bersepeda menyusuri jalan di rumah-rumah panggung untuk menuju sungai. Tiba-tiba, ada seorang sipil mengayuh sepeda sangat dekat. Sang intel itu berhenti. Dia memata-matai gerak-gerik Sukarno.

Tak dinyana, ketika sedang asyik memantau objek, sang intel tiba-tiba digonggong dua ekor anjing. Saking kagetnya, sang spion itu langsung menaiki sepeda dan berdiri di atasnya. Tangannya berpegangan erat ke sebatang pohon.

Atas kejadian itu, Sukarno protes kepada petinggi kepolisian. Dia meminta sang intelijen tidak memata-matainya secara dekat. "Maaf, Tuan Sukarno, kami telah memberi instruksi kepadanya untuk tetap berada dalam jarak 60 meter," jawab sang petinggi tersebut.

Flores selamanya akan tetap melekat dalam kenangan Bung Karno. Di tempat ini, Bung Karno mendengar bahwa HOS Tjokroaminoto, guru politiknya, wafat. Sebelum HOS Tjokroaminoto wafat, ia telah mengirim surat yang berisi harapan kesembuhan untuk sang mentor.

Surat itu diperlihatkan oleh HOS Tjokroaminoto kepada setiap orang. "Aku menangis mengenang tokoh besar pergerakan ini," ujar Sukarno.

Selain menerima kabar duka, Sukarno juga kerap menyendiri selama dalam pengasingan. Tempat favoritnya berada di bawah pohon sukun yang berjarak 700 meter dari kediaman. Pemandangan indah yang menyajikan Laut Ende membuat ia betah melakukan kontemplasi di lokasi itu.

"Aku duduk melamun selama berjam-jam," kata Bung Karno.

Biasanya Sukarno pergi sendiri ke tempat itu pada Jumat malam. Di tempat itu, dia mengaku tercetus buah pemikiran Pancasila. Hal itu diutarakan Bung Karno saat menjadi Presiden RI Pertama yang kembali mengunjungi Ende pada 1950. Kala itu ia bercerita bahwa tempat ini menjadi bagian penting dalam proses pencetusan Pancasila yang kini ditetapkan sebagai dasar negara. 

Sejak 1980-an, pohon sukun itu kemudian dikenal menjadi Pohon Pancasila. Namun, pohon aslinya sudah mati pada 1970-an. Pemerintah setempat menggantinya dengan anakan pohon yang sama.