Sukses

Ade Irawan, Terlahir Buta Kini Jadi Pianis Kelas Dunia

“Kemampuan musiknya itu karena Tuhan." Tonton permainan pianonya mengalunkan "Indonesia Pusaka" dalam berbagai genre.

Liputan6.com, Jakarta - Anak muda itu menengadah ke kehitaman studio Jaya Suprana School of Performing Arts. Jemarinya mengelus tuts piano yang ada di depannya. Dia seorang pianis. Matanya buta...

Tiba-tiba saja, jari-jari Muhammad Ade Irawan Subagyo (23)--nama lelaki itu--seperti menari di tuts piano, mengalunkan Indonesia Pusaka, lagu mahakarya Ismail Marzuki.

Jemari Ade terus meliuk-liuk, menyusuri berbagai variasi tangga nada. Indonesia Pusaka pun mengalun bergantian dalam bermacam genre: klasik, blues, jazz, keroncong, dan dangdut.

Jaya Suprana, pendiri Museum Rekor Indonesia yang juga seorang pianis piawai, duduk di samping piano. Dia terhanyut dibuai permainan anak muda Indonesia kelahiran Colchester, Inggris ini. Sesekali dia berdecak kagum.

“Guru dia adalah Yang Maha Kuasa,” kata Jaya kepada Liputan6.com, Selasa, 8 Agustus lalu.

Jaya pertama kali bertemu Ade pada pertengahan 2004, di New York. Kala itu, Ade masih berusia 10 tahun.

Sejak saat itu, Jaya tak putus terkagum-kagum. Anak muda ini diberkati kemampuan musik yang luar biasa, jauh melebihi kemampuan mereka yang punya penglihatan normal.

Endang Irawan, ibunda Ade, menuturkan bahwa anak sulungnya ini tak pernah mengenyam sekolah musik apa pun. Seingatnya, Ade cuma pernah dua kali ikut les singkat. Itu pun dia tinggalkan di tengah jalan. Yang pertama, saat Ade berumur enam tahun. Berikutnya, ketika mengikuti master class dari John Faddis, musisi jazz terkenal Amerika.

“Dia hanya sekolah biasa. Kemampuan musiknya itu karena Tuhan. Ade itu bukan siapa-siapa,” kata Endang kepada Liputan6.com. "Dia belajar melalui pendengaran."

Endang yang merupakan seorang diplomat, mengaku mereka sekeluarga beruntung karena sempat tinggal di luar negeri, tepatnya di Inggris dan Amerika Serikat. Di dua negara ini, Ade mendapat kesempatan lebih untuk mengembangkan bakat musiknya--di tengah keterbatasannya sebagai tunanetra.

Di rumahnya, Ade yang hidup sederhana bersama keluarganya, bahkan tak punya piano. Dia sehari-hari hanya memainkan organ tua miliknya.

Namun kini, Ade telah melanglang buana. Berulang kali dia diundang untuk mengikuti jam session bersama musisi-musisi jazz di negeri Paman Sam. Salah satunya di World Stage Community yang merupakan komunitas jazz kulit hitam kondang di Los Angeles, Amerika.

“Ade satu-satunya dari Indonesia,” Endang menuturkan.

Seturut waktu berjalan, undangan untuk tampil terus berdatangan dari berbagai negara. Ade pernah tampil di Paviliun Indonesia di Italia, di Kedutaan Besar RI di Bahrain, dan di Sydney Opera House, Australia. Di tempat terakhir ini, usai Ade tampil, seisi gedung opera berdiri, bertepuk tangan panjang memberikan apresiasi.

Di mata Jaya, talenta Ade merupakan berkah yang luar biasa. Setahu dia, tak banyak pianis tunanetra di dunia dengan kemampuan sepertinya, apalagi di wilayah jazz. “Saya kira Ade ini tak kalah dengan pianis-pianis kelas dunia, termasuk Nat King Cole. Inilah keindahan musik, inilah kemahakuasaan Yang Maha Kuasa...” (kd)