Liputan6.com, Jakarta - Belakangan ini, arus konservatisme, fanatisme, dan "fundamentalisme", baik dalam konteks politik, pemikiran, maupun tindakan, kembali menguat di masyarakat, baik "masyarakat agama" maupun "masyarakat sekuler", di berbagai negara.
Di Amerika Serikat dan berbagai negara Eropa dan Barat pada umumnya, negara-negara yang konon sebagai "kampiun demokrasi" di mana orang dihargai bukan karena status agama, etnisitas, ras, suku, dan hal-ikhwal primordial lainnya melainkan lebih pada hak-hak dan martabat kemanusiaan, penyakit fanatisme, konservatisme, dan fundamentalisme ini juga menyeruak dan bergaung di mana-mana.
Ada banyak radio, televisi, media, tempat ibadah, ormas dan lembaga keagamaan yang menyuarakan kebencian dan perseteruan terhadap kelompok agama, aliran, sekte, kongregasi, dan denominasi lain.
Advertisement
Bahkan ada sejumlah kelompok masyarakat Barat yang membangun aksi dan gerakan kekerasan (dan "sikap antipati terhadap yang lain") berbasis rasisme, etnosentrisme, chauvinisme, nasionalisme, dan sebagainya.
Dalam konteks Barat dewasa ini, kaum migran non-kulit putih dan kaum Muslim khususnya menjadi target utama kampanye dan propaganda sarkastik sebagian kelompok masyarakat.
Dalam banyak hal, kaum fanatik yang overdosis ini menjadi "foot soldier" dan "vote-getter" partai politik tertentu.
Mereka menjadi basis massa para "politisi hitam" yang sukses meraup keuntungan dengan membangkitkan sentimen primordialisme, serta menjual kebencian dan permusuhan terhadap kelompok lain yang dianggap atau diklaim merugikan kepentingan partai, agama, atau bangsa (simak misalnya ulasan Ruth Wodak dari University of Vienna dalam "Right Wing Populist Parties on the Rise.
***
Bukan hanya di Barat, kawasan Timur Tengah juga mengalami fenomena yang sama. Dalam konteks politik, Timur Tengah sebagai basis utama kaum Muslim sudah lama dikenal sebagai kawasan yang jauh dari nilai-nilai demokrasi.
Hampir semua negara di Timur Tengah adalah kerajaan absolut (atau "semi absolut"), atau negara totaliter (atau "semi totaliter") yang dibungkus dengan demokrasi.
Kalaupun ada pemilu di negara-negara di kawasan ini, biasanya terjadi dalam empat kemungkinan.
Pertama, di bawah ancaman kekuasaan militer yang selalu siap membatalkan hasil pemilu yang kurang menguntungkan kepentingan "rezim tentara". Kedua, di bawah bayang-bayang "rezim agama" (seperti kaum Mullah atau Wilayatul Faqih).
Ketiga, pemilu berlangsung di bawah kekuasaan politik yang semi-otoriter dan represif. Keempat, pemilu yang dilangsungkan secara "akal-akalan", sekedar untuk memenuhi tuntutan negara-negara Barat dan publik internasional tentang demokrasi.
Bukan hanya masalah politik, aura konservatisme, fanatisme, dan fundamentalisme juga merambah wilayah pemikiran dan tindakan keagamaan.
Setali tiga uang dengan kawasan Barat dan Timur Tengah, Indonesia dewasa ini, khususnya pasca-rezim Orde Baru, juga mengalami gejala dan fenomena yang sama.
Negara yang selama ini disebut-sebut sebagai exemplary dari negara mayoritas berpenduduk Muslim yang mampu menerapkan prinsip demokrasi berbasis spirit toleransi, pluralisme, keterbukaan, dan otonomi warga negara dalam menentukan pilihan intelektual, agama, dan politiknya ini, kini sedang diuji eksistensi, komitmen, dan kredibilitasnya.
Memang, dalam konteks "kebebasan berpolitik", Indonesia masih jauh lebih baik dengan negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim di mana pun di dunia ini.
Masyarakat Indonesia masih relatif bebas mengekspresikan diri melalui pemilihan umum (pemilu) misalnya, baik pemilu legislatif (pileg) maupun pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Meskipun tentu saja, pemilu yang berlangsung selama ini bukan berarti tanpa cacat dan kecurangan.
Tetapi itu sudah jauh lebih baik dan demokratis ketimbang pemilu di negara-negara berbasis Muslim lain, yang penuh dengan intrik dan rekayasa.
Masalahnya adalah pemilu hanyalah "demokrasi prosedural" yang tentu saja tidak bisa dijadikan sebagai acuan utama atau model untuk menilai kedemokratisan sebuah negara. Apalagi banyak pileg, pilpres, maupun pilkada yang tidak benar-benar demokratis.
Ada hal-hal yang jauh lebih esensial untuk melihat substansi demokrasi, misalnya bagaimana negara dan masyarakatnya menyikapi masalah hak-hak minoritas (baik minoritas agama, etnis, maupun politik), kebebasan sipil dalam beragama dan berkeyakinan, kemajemukan masyarakat, kemerdekaan berpikir, dsb.
Alih-alih menegakkan demokrasi, sebagian kaum Muslim justru terjerembab ke dalam sikap, pemikiran, dan tidakan konservatif, fanatik, militan, dan bahkan ekstrim yang membahayakan bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta keberlanjutan demokrasi pemikiran dan pluralisme di Indonesia di masa datang.
Sejumlah kelompok Islam bahkan terang-terangan melakukan berbagai upaya kekerasan (verbal maupun fisik), dan tindakan intoleran terhadap kelompok lain.
Hasil survei sejumlah lembaga riset seperti Wahid Institute, Setara Institute, dan lembaga lain menunjukkan kecenderungan, yakni meningkatnya arus konservatisme, intoleransi, anti-pluralisme, dan bahkan ekstremisme dan radikalisme.
Hasil survei juga menunjukkan tentang dukungan sebagian kelompok masyarakat Islam terhadap sejumlah organisasi dan teringan teroris global seperti ISIS.
Meskipun harap dicatat bahwa mendukung bukan berarti mau bertindak (melakukan perbuatan), seperti yang dilakukan kalangan Islam radikal, karena sikap dan tindakan tidak selamanya berjalan paralel.
Namun demikian, hasil survei ini sangat mencemaskan nilai-nilai kebangsaan dan keindonesiaan ke depan.
Lebih lanjut, hasil survei juga menunjukkan rendahnya tingkat toleransi umat Islam terhadap
kelompok lain. Misalnya, umat Islam keberatan terhadap pembangunan gereja dan bahkan sekadar kebaktian di wilayah mereka.
Kaum muslim juga keberatan jika umat Kristen mengajar di sekolah-sekolah negeri. Mereka juga tidak setuju terhadap pemimpin politik atau kepala daerah non-Muslim.
Tidak sebatas itu, mereka juga mendukung penerapan hukum rajam, potong tangan, penolakan terhadap pemimpin perempuan.
Persentase dukungan terhadap agenda-agenda Jama’ah Islamiyah (JI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Front Umat Islam (FUI), dsb, juga cukup signifikan.
Jika diperhatikan dengan saksama, sikap konservatisme dan militansi itu terjadi di hampir semua faksi Islam. Bahkan ormas Islam besar seperti Muhammadiyah dan NU yang dikenal sebagai "sayap Islam moderat" di negeri ini juga tidak luput dari semangat konservatisme, militansi, dan intoleransi ini.
Memang di tingkat elite struktural, kedua ormas Islam ini hampir selalu dipimpin oleh figur atau tokoh moderat, progresif atau bahkan liberal. Tetapi sikap mereka tidak secara otomatis berdampak secara langsung dan positif pada arus bawah atau masyarakat "akar rumput" pengikut kedua ormas ini.
***
Mengapa arus konservatisme dan militansi begitu menguat di kalangan kaum Muslim?
Jawaban atas pertanyaan ini bisa panjang apalagi jika dikaitkan dengan masalah politik. Tetapi di antara faktor penting yang bisa menjelaskan fenomena menguatnya konservatisme di tubuh Islam ini adalah berkaitan dengan pemahaman keislaman yang fragmented, parsial, sepotong, instan, dan tidak komprehensif.
Kita tahu, sebagian besar umat Islam di Indonesia bukanlah ahli agama dalam pengertian bahwa mereka dilatih dan dididik secara intensif dalam lingkungan agama.
Kalaupun ada yang belajar di lingkungan agama, umumnya adalah lingkungan yang tidak ramah dengan wacana keislaman di luar arus utama, dan karena itu ujung-ujungnya konservatif seperti terjadi di NU dan Muhammadiyah tadi.
Mungkin kurang dari satu persen umat Islam Indonesia yang memiliki kemewahan untuk meneliti dan memahami ajaran agama mereka "secara benar".
Yang dimaksud disini adalah mengkaji wacana keislaman dengan perangkat ilmiah yang obyektif, dan sesuai dengan standar kesarjanaan.
Sebagian besar informasi keagamaan kaum Muslim di Indonesia diperoleh melalui "dunia medsos", yang sumbernya tidak jelas (atau "abal-abal") serta "dunia kaki lima", yakni tempat-tempat yang menyajikan ajaran dan doktrin Islam secara sederhana dan instan seperti mimbar-mimbar khotbah di masjid, bulletin ruhani, ceramah tujuh menit, kuliah keagamaan di TV dan radio dan tempat-tempat lain dengan informasi keislaman diobral secara murah dalam retorika keagamaan yang sempit.
Dan kita tahu, jenis atau wacana keislaman yang disampaikan di "dunia maya" dan forum-forum "kaki lima" tersebut banyak didominasi oleh kaum militan-konservatif.
Sementara itu, kaum moderat sebagian besar masih aras-arasan menggunakan medium internet, medsos (Facebook, YouTube, dsb)Â dan "media kaki lima" tadi sebagai alat untuk berdakwah, bertukar gagasan, dan mendistribusikan ide-ide keagamaan dan keislaman ke masyarakat.
Mereka pada umumnya masih berkutat dengan "dunia dan wacana akademik", serta menyampaikan gagasan-gagasan keagamaan dan keislaman dengan menggunakan bahasa intelektual yang melangit, bukan membumi, sehingga susah dijangkau dan dipahami oleh lapisan masyarakat bawah dan kaum Muslim kebanyakan.
Ini tentu saja berbeda dengan kaum militan-konservatif yang berdakwah dengan cara simpel, "to the point" alias tidak bertele-tele dan "hitam-putih", sehingga gampang dicerna dan masuk ke akal-pikiran masyarakat bawah, yang memang "miskin" wawasan keislaman.
Versi pemahaman keislaman seperti inilah yang banyak diserap dan dikonsumsi oleh sebagian besar umat Islam di Indonesia khususnya, sehingga wajar apabila mereka kemudian berwatak intoleran, bersikap konservatif, bertindak militan, serta tidak menghargai keragaman pemikiran dan praktik keagamaan.
Pemahaman keislaman model ini jelas tidak akurat dan berlawanan dengan visi Islam dan spirit kenabian yang menjunjung tinggi kemajemukan ide, keragamam ekspresi keberagamaan, dan kemerdekaan akal-pikiran, serta spirit Islam sebagai agama rahmat bagi alam semesta. Wallahu a'lam.
Saksikan video menarik di bawah ini: