Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) meminta aparat penegak hukum untuk memanfaatkan program perlindungan saksi dan korban yang dilaksanakan LPSK.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, belajar dari kasus tewasnya Johannes Marliem, salah satu saksi korupsi KTP elektronik, LPSK mengimbau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk merekomendasikan saksi atau pelapor tindak pidana korupsi yang rentan mendapatkan intimidasi atau ancaman.
"LPSK bisa memberikan perlindungan. Tetapi, kalau KPK tidak mengirimkan saksi tersebut, LPSK juga tidak bisa memaksa. Kasus Johannes Marliem hanya salah satunya, banyak kasus lain dimana saksi atau pelapornya butuh perlindungan," ungkap Semendawai dalam konferensi pers yang di gelar di kantor LPSK, Jakarta, Selasa, 15 Agustus 2017.
Semendawai menjabarkan, sebenarnya LPSK dan KPK lahir dari rahim yang sama, yaitu Tap MPR Nomor 8 Tahun 2001 yang mengamanatkan pencegahan dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dari Tap MPR itu, dimandatkan pembentukan lembaga khusus pemberantasan korupsi dan program perlindungan saksi.
"Jadi, dua lembaga ini harus berjalan seiring," ujar dia.
Kematian Johannes Marliem terungkap di publik Kamis 10 Agustus 2017. Dia disebutkan tewas karena bunuh diri.
Saat kasus e-KTP bergulir,[Johannes Marliem](Dalami Kepastian Kewarganegaraan Saksi e-KTP Marliem "") sudah berada di Amerika Serikat. Dia adalah Direktur BiomorfLoneLLC, Amerika Serikat.
Marliem disebut sebagai saksi kunci karena memiliki bukti pembicaraan dengan para penggarap proyek e-KTP. Dia juga disebut memiliki bukti rekaman pertemuannya dengan Ketua DPR RI Setya Novanto.
Advertisement
Saksikan Video Menarik Berikut Ini: